Jumat, 18 Maret 2011

"Trah" Ismail Suko Berburu Tahta



“Trah” tokoh heroik Riau, Ismail Suko sedang berada pada puncaknya. Kedua putra putri, mantan sekwan Riau paling bersejarah itu berpacu kencang berburu “tahta”. Sang adik, Jhoni Irwan telah bertanding lebih dulu pada 16 Februari lalu. Medan pertarungan cukup keras di negeri seribu suluk. Namun sayangnya, ia kalah kencang, tersalip lawan-lawannya dan finish pada urutan ke-4. Harapan kini ada pada sang kakak, Septina Primawati Rusli. Kini,“permaisuri” sang gubernur masih berusaha membeli tiket masuk. Dibantu kekuatan powerfull sang suami, tampaknya ia akan melaju di jalan tol. “PPP sini cincai-cincai saja. Saya akan memberikan lampu hijau pada PPP untuk mendukung gubernur," ujar Suryadharma Ali ketika membuka Musyawarah Wilayah PPP Provinsi Riau, Rabu (23/2). Lampu hijau yang dimaksud tidak lain adalah dukungan PPP untuk pencalonan Septina. Jika itu ditepati, maka kini tinggal menunggu kabar dari“beringin” yang masih saja rimbun dan bintang di langit biru….  

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru


Dies Natalis Universitas Riau 1980 menyimpan kenangan tersendiri bagi Rusli Zainal dan Septina Primawati. Meski masih menyandang status mahasiswa baru, namun Septina telah terlibat aktif dalam kegiatan kampus. Disamping tampil menari pada acara Dies Natalis itu, Septina juga kebagian tugas sebagai penjaga tamu. Rusli, yang kala itu sedang “naik daun” sebagai qori nasional juga mendapat tugas yang sama. Dari situlah cerita bermula hingga keduanya ditakdirkan menjadi sepasang mempelai pada 3 Mei 1985.
Belum genap seumur jagung usia perkawinan keduanya, tragedi politik “terhebat” di bumi lancing kuning yang melibatkan keluarganya meledak. Getarannya tidak hanya mengguncang Republik Indonesia, tapi juga menggema ke penjuru dunia. Ismail Suko, ayah Septina yang juga mertua Rusli menjadi tokoh yang paling dicari “rezim” Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Soeharto. Sebab, tanpa diduga, dalam pemilihan Gubernur Riau 2 September 1985, nama Ismail Suko melejit menjadi pemenang mengalahkan calon yang direstui “cendana” yakni Imam Munandar. Sebuah peristiwa yang tidak pernah terjadi di era Orde Baru, calon pendamping mengalahkan “calon jadi”. Namun, kemenangan Ismail Suko tidak bertahan lama. Dalam hitungan hari, Sang Presiden melalui Ketua Umum DPP Golkar Soedharmono, berhasil “menjinakkan” Ismail Suko hanya dalam secarik kertas. Ismail Suko pun akhirnya urung dilantik menjadi Gubernur Riau. Sang menantu, Rusli Zainal ketika itu merupakan seorang pemuda yang baru berusia 28 tahun. Namun, ia telah menyaksikan sejarah “besar” terjadi yang melibatkan keluarganya.
“Trah” Ismail Suko dikemudian hari ternyata mengalir pada sang menantu. Tidak lebih dari dua dasawarsa, pada tahun 2003 Ismail Suko bisa duduk dengan tenang dan bangga melihat menantunya dilantik menjadi Gubernur Riau. Sesuatu yang sebenarnya sudah di depan pelupuk matanya pada 2 September 1985 silam.
GUBERNUR RIAU HM Rusli Zainal hingga kini tercatat telah menjabat sebagai gubernur kali kedua. Pada pemilihan gubernur mendatang, sesuai ketentuan UU No 32 Tahun 2004, ia tidak diperbolehkan untuk mencalonkan kembali. Namun, ia sudah memasang kuda-kudanya untuk berlari kencang dan bermain di wilayah yang lebih luas yakni tingkat nasional. Jabatan Ketua Umum DPP SOKSI dan Ketua DPP Partai Golkar telah berada di telapak tangannya. Tetapi, sebagai politisi ulung, ia tidak pergi meninggalkan begitu saja, bumi melayu. Diam-diam, ia pun telah “mengelus-elus” calon pewaris “tahtanya.” Pada awalnya, ia mengelus Firdaus, MT Kepala Dinas PU Riau. Firdaus yang merasa sebagai “putra mahkota” pun langsung tancap gas. Ia diproyeksikan Rusli untuk menjadi walikota Pekanbaru. Berbagai sosialisasi sejak awal pun telah dilakukan. Pendekatan-pendekatan pada masyarakat dan tokoh-tokohnya pun telah pula dijalankan. Tak kurang, gelar kehormatan masyarakat Jawa pun telah ia dapatkan. Ibarat pepatah, Firdaus telah menanam benih, tetapi akankah ia memetik hasilnya?
Hingga kemudian, arah politik berubah. Sang Gubernur putar haluan. Ternyata, pada injuri time, Rusli Zainal justru malah memunculkan figur baru yang tak lain adalah istrinya sendiri, Septina Primawati. “Trah” langsung Ismail Suko ini pun di dukung penuh keluarga. Toke-toke yang selama ini merapat pada Firdaus, kini pun “banting stir”. Menurut sumber Daulat Riau, mereka bahkan menasehati Firdaus agar menerima pinangan menjadi orang nomor dua saja. “Jangan melawan, tidak ada gunanya,” ujar mereka seperti ditirukan sumber Daulat Riau. Banyak kalangan pun menuding Rusli Zainal hendak membangun dinasti politik “Itu bagian daripada haknya. Silakan saja. Yang perlu kita ingatkan adalah bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidak cukup dengan figur suaminya yang kepala daerah. Ia harus punya leadership yang baik. Karena yang akan mengambil keputusan adalah dia sendiri. Leadhersipnya ada pada dia. Jadi bukan hanya menjadi bayang-bayang saja,” ujar Dodi Haryono, SHi, SH, MH pakar hukum tata negara dari Universitas Riau kepada Daulat Riau, Kamis lalu. Tren kecenderungan dinasti politik yang dilakukan oleh kepala daerah memang belakangan marak pasca reformasi hampir di seluruh Indonesia. 
Menjamurnya dinasti politik di berbagai daerah membuat Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) gerah. Saat ini, bahkan Kemendagri sedang mangajukan usul revisi UU No 32/2004 yang akan memperketat persyaratan calon kepala daerah. Kemendagri akan melarang majunya kerabat terdekat seperti anak, saudara kandung atau istri kepala daerah yang sedang menjabat untuk ikut Pemilukada. Usulan ini akan diperjuangkan Kemendagri untuk segera disahkan menjadi undang-undang. Karena dalam UU No 32/2004 saat ini, belum diatur sehingga membuka peluang terbentuknya dinasti politik berdasar kekeluargaan dan kekerabatan yang akan menodai makna demokrasi. Seandainya usul Kemendagri ini lolos, maka secara otomatis langkah politik Rusli Zainal yang terkesan ingin membangun “dinasti politik” dengan mencalonkan istrinya menjadi walikota Pekanbaru akan kandas.
Namun, bergulirnya wacana pembatasan ini mengundang beragam pendapat di tengah-tengah masyarakat. "Pemerintah terlalu reaktif merevisi undang undang tersebut. Bila itu diluluskan, pembatasan tersebut inkonstitusional dan rentan untuk dibatalkan lewat jalur Makhkamah Konstitusi karena hak setiap warna negara untuk memilih dan dipilih," kata Husnu Abadi, pakar hukum dari Universitas Islam Riau (UIR). Lebih lanjut, Husnu yang ketika dihubungi Daulat Riau, Kamis lalu (2/2) sedang berada di India menghadiri seminar tentang HAM di Delhi University mengatakan bahwa pemerintah seharusnya lebih konsentrasi memberikan pendidikan politik ke masyarakat ketimbang membatasi dengan revisi tadi. Ketika masyarakat cerdas secara politik, pasti bisa menentukan secara rasional pemimpinnya yang kredibel bukan karena kedekatan dengan incumbent. "Rakyat bisa menghalangi dinasti politik kepemimpinan ini lewat pemilukada. Kalau memang tidak berkompeten jangan dipilih. Tapi jangan dibatasi rakyat untuk mencalonkan diri hanya karena statusnya," ujarnya.
Senada dengan Husnu Abadi, menanggapi atas usul revisi UU 32/2004 yang melarang kerabat kepala daerah untuk ikut dalam pemilukada, Dodi Haryono mengatakan bahwa dari sisi etika politik bisa dipahami. Maksud untuk bagaimana terdistribusikannya masalah kepala daerah tidak hanya berdasarkan satu “trah”. Karena ada juga yang merasa bahwa “itu-itu saja” dari tahun ke tahun, apakah kekuasaan itu dilanjutkan pada istri, anak maupun kerabat dekat, sehingga dianggap sepertinya kurang pantas. Namun, persoalannya kata alumni UII Yogyakarta ini adalah ketika ditinjau dari aspek hukum. Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah hak semua orang. Jadi, apakah kita mau menjadi kepala daerah atau yang lainnya pada prinsipnya sah-sah saja. Dan itu merupakan hak konstitusional yang dilindungi UUD 1945.
“Saya melihat dalam kasus revisi UU No 32/2004 yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri dalam pemilukada, saya rasa itu tidak merupakan alasan yang tepat untuk membatasi hak orang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Justru kalau hal ini dipaksakan, malah akan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sesuai dengan hak-hak azasi manusia (HAM),” tegas Dodi Haryono yang juga menjabat sebagai pembantu dekan II Fakultas Hukum UR ini.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar