Jumat, 18 Maret 2011

Permaisuri-Permaisuri Calon Pewaris Tahta

Coffe morning  Gubernur Riau dengan kalangan wartawan di kediaman Jalan Diponegoro, 7 April tahun lalu berakhir dengan satu kesimpulan penting. Ibu Septina Primawati Rusli, istri Gubernur Riau HM Rusli Zainal “mendeklarasikan”  maju sebagai calon Walikota Pekanbaru 2011-2016. ''Atas restu Gubernur Riau, dan tak ada larangan dalam aturan, serta banyaknya dukungan masyarakat sejak tahun 2009, maka dengan mengucap Bismillah, saya siap lahir bathin untuk ikut pilkada di Pekanbaru. Saya mencoba siap memenuhi harapan masyarakat,'' ujar Septina ketika itu..Seakan tak mau ketinggalan, meski masih terkesan malu-malu dan belum mendeklarasikan, Ibu Evi Meiroza Herman, istri Walikota Herman Abdullah pun dikabarkan akan ikut berkompetisi.  “Permaisuri-permaisuri” itu pun akan menjadi pewaris mahkota...

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Inspirasi itu datang dari negeri penghasil minyak, Bontang Kalimantan Timur. Kota yang cukup terkenal karena klub sepakbolanya yang terbilang hebat di tanah air, PKT Bontang menjadi acuan Gubernur Flamboyan dari Riau ini. Disana, kolega sang Gubernur, tak lain adalah Walikota Bontang. Istri walikota menjadi Ketua DPRD dan bahkan menjadi kandidat terkuat calon walikota menggantikan suaminya yang sudah dua periode menjabat. Dari Bontang, Gubernur membawa kita terbang ke sebuah kota di Jawa Timur yang sangat terkenal sebagai gudangnya rokok kretek. Itulah kota Kediri, sekaligus wilayah bekas kerajaan Kediri tempo dulu. Disana, kata gubernur ada dua istri mantan Bupati Kediri, yang sama-sama maju menjadi calon Bupati menggantikan suaminya.
            Dua kota itulah yang dicontohkan Gubernur Riau HM Rusli Zainal ketika mendeklarasikan secara resmi pencalonan istrinya, Septina Primawati untuk maju menjadi walikota Pekanbaru. Lebih elegan lagi, kalau Gubernur juga merujuk pada sosok Ani Yudhoyono, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit halaman 479, Ani Yudhoyono menulis “Jika SBY sudah tidak jadi presiden”, sambung Ani, “maka kedudukan terhormat buatku adalah tetap menjadi Nyonya SBY, bukan menjadi presiden”. Hal ini mengandung makna bahwa ia tidak mau untuk dicalonkan menjadi Presiden pasca suaminya habis masa jabatan untuk kedua kalinya. Meski orang-orang disekelilingnya terus mendorong untuk maju, namun Ani tetap saja menolak.
“Mau menjadi kepala daerah, atau apapun, pada prinsipnya sah-sah saja. Itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD,” ujar Dodi Haryono akademisi dari Universitas Riau. Semua orang, kata Dodi mempunyai hak yang sama untuk ikut berperanserta dalam pemerintahan. Munculnya para istri maupun kerabat kepala daerah yang lain untuk ikut mencalonkan menjadi kepala daerah, cukup menjadi kerisauan tersendiri bagi Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Kemendagri sedang mengusulkan revisi UU No 32/2004 yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri dalam pemilukada. Karena dalam UU No 32/2004 saat ini, belum diatur sehingga membuka peluang terbentuknya politik kekerabatan (dinasti politik).
“Kalau kita lihat fenomena yang ada di lapangan, usulan Kemendagri itu rasional atau masuk akal. Karena apa? Karena memang ada kecenderungan, misalnya seorang Bupati yang sudah dua periode, karena menurut ketentuan tidak boleh mencalonkan kembali, kemudian ia memberikan pada salah satu keluarganya. Dan ini di beberapa daerah fenomenanya seperti itu, bahkan ada yang jadi,” ujar Azam Awang, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Pasca Sarjana UIR. Fenomena ini, menurut Azam Awang secara demokratis itu ok, tidak ada persoalan. Karena secara demokrasi. Siapapun punya peluang dan hak yang sama. Tetapi trend ini, seolah-olah adalah tren melanjutkan dan melanggengkan rezim kekuasaan.
Menurut Azam Awang, tradisi ini memang perlu diantisipasi. “Kalaupun dia akan maju, nanti jangan terkena pada saat suaminya selesai periode kedua, kemudian melanjutkan periode pada kerabatnya itu,” terang Azam. Karena, tambah Azam jangan sampai ada kesan melanjutkan rezin politik atau pun membentuk dinasti politik, turun temurun dan berkepanjangan. Apalagi kalau kita kaitkan dengan dunia Internasional. Sekarang masyarakat Internasional sudah menyadari kalau kekuasaan yang turun-temurun dan berkepanjangan sesuai dengan teori Lord Action, kekuasaan akan cenderung disalahgunakan.
Dalam waktu yang tidak lama lagi, Kota Pekanbaru akan mengadakan Pemilukada. Dua kutub besar akan bertemu. Jika benar, Evi Meiroza akan maju, ia mewakili kutub penguasa Kota Pekanbaru. Satu kutub lagi adalah penguasa provinsi Riau, istri Gubernur Riau Septina Primawati. Langkah Evi memang belum “selincah” Septina. Septina, sejak tahun lalu telah bergerilya dari segala penjuru mata angin. Septina menembus masuk ke tengah-tengah masyarakat melalui berbagai celah. Kini, ia pun tercatat mengomandoi sekitar delapan organisasi besar, yang secara “terselubung” terus melakukan aktivitas dan pada intinya adalah mensosialisasikan dirinya. Ke delapan organisasi tersebut antara lain Pramuka, BKOW, BKMT, Dekranasda, PKK, Pusdatin, Puanri dan yang teranyar adalah Dekopin Kota Pekanbaru. Dalam organisasi tersebut, Septina duduk sebagai ketua umum maupun dewan Pembina. Diluar itu, masih ada kekuatan-kekuatan lain yang juga ia galang.
Saat ini bahkan wajah-wajah Septina telah bertebaran diberbagai jalan-jalan se-antero Kota Pekanbaru. Baliho baik berukuran sedang maupun besar menghiasi wajah Kota Bertuah. Septina memang turun tidak main-main, ia sangat powerfull. Terlebih dukungan yang teramat kuat juga datang dari sang suami, Gubernur Riau HM Rusli Zainal.Tentang popularitas, figure Septina cukup dikenal. Survei internal yang dilakukan DPD PKS tahun lalu, menyebutkan hanya ada empat calon yang layak maju pada pemilukada Kota Pekanbaru. Keempat calon tersebut adalah Septina Primawati, Erizal Muluk, dan Ayat Cahyadi. Sedangkan nama Evi Meiroza, dalam survey tersebut lebih diposisikan sebagai wakil walikota bersama Dian Sukheri, dan Edi Satria. Menurut survey tersebut, Septina diunggulkan karena merupakan istri dari gubernur Riau.
Azam Awang kembali mengatakan bahwa masuknya kerabat kepala daerah dalam bursa pencalonan, paling tidak akan mengakibatkan suatu kondisi demokrasi yang kurang kondusif. Disinggung apakah tren dinasti politik seperti ini erat kaitanya dengan KKN, Azam mengatakan bahwa sudah terlalu dekat dengan KKN. “Kalau kita lihat dari segi emosional itu sah-sah saja dan wajar. Biasanya yang kita dorong atau orbitkan, memang orang terdekat dengan kita atau orang yang kenal dengan kita. Tapi dengan adanya tren seperti itu, saya pikir terlalu dekat dengan KKN,” terang Azam Awang. Indikasinya, kata pria kelahiran Pulau Lingga, disamping melanjutkan kekuasaannya, tetapi juga dia mengamankan kebijakan yang sudah diambil sebelumnya, termasuk kebijakan-kebijakan yang “menyimpang” dan keliru. “Jadi sangat dekat sekali dengan KKN, kalau tidak boleh kita katakan KKN,” tegasnya.
Bagaimanakah pertarungan dua “permaisuri” berebut mahkota Pekanbaru Satu ini? Kita lihat hasilnya pada bulan April mendatang.***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar