Jumat, 18 Maret 2011

"Kalau Dipaksakan Akan Bertentangan Dengan UUD"

KEMENTRIAN Dalam Negeri (Kemendagri) berupaya memperketat syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Melalui revisi UU No 32/2004, Kemendagri akan melarang kerabat terdekat seperti anak, saudara kandung atau istri kepala daerah yang sedang menjabat untuk ikut Pemilukada. Usulan ini akan diperjuangkan Kemendagri untuk disahkan menjadi UU. Karena  dalam UU No 32/2004 saat ini belum diatur, sehingga membuka peluang terbentuknya “dinasti politik” berdasarkan kekeluargaan atau kekerabatan yang jelas akan menodai makna demokrasi. Publik merespon dengan beragam pendapat. Ada yang menolak dan tidak sedikit pula yang mendukung. Untuk mengetahui lebih jauh persoalan ini, berikut petikan wawancara Daulat Riau, Kamis, 22/2 dengan Dodi Haryono, Shi, SH, MH, pakar hukum tata Negara dari Universitas Riau…

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Bagaimana Anda memandang revisi UU No 32/2004 yang diajukan Kemendagri yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk ikut serta dalam pemilukada?
Berbicara dalam konteks politik, mungkin dari sisi etika politik bisa dipahami. Maksud untuk bagaimana terdistribusikannya masalah kepala daerah tidak hanya berdasarkan satu “trah”. Karena ada juga yang merasa bahwa “itu-itu saja” dari tahun ke tahun apakah kekuasaan itu dilanjutkan pada istri, anak maupun kerabat dekat, sehingga dianggap sepertinya kurang pantas. Tetapi persoalannya adalah ketika ditinjau dari aspek hukum. Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah hak semua orang. Jadi, apakah kita mau jadi kepala daerah atau yang lainnya pada prinsipnya sah-sah saja. Dan itu merupakan hak konstitusional yang dilindungi UUD 1945.

Apakah hak ini bisa dibatasi?
            Dalam undang-undang dasar, pembatasan sangat dimungkinkan. Tetapi pembatasan dilakukan dalam konteks untuk menegakkan, menjaga kebebasan hak orang lain. Dibatasi artinya adalah ada hak masyarakat untuk berpartisipasi. Secara umum, saya tidak melihat apakah anak beranak, sepupu dan segala macamnya. Namun pembatasan itu ada alasan-alasannya. Ada 3 alasan mendasar, yakni pertama, untuk menjamin kebebasan hak orang lain. Kedua, untuk menjamin hak-hak azasi manusia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan prinsip-prinsip agama. Ketiga, untuk menjamin kepentingan umum dan keamanan negara.

Bukankah revisi UU 32/2004 merupakan upaya pembatasan hak dimaksud?
            Misalnya, ketika seseorang yang ada hubungan kekerabatan dengan kepala daerah itu akan mencalonkan diri lalu dilarang, apakah itu telah sesuai dengan prinsip-prinsip dimungkinkannya pembatasan itu? Menurut saya tidak. Umpamanya apakah nantinya dengan adanya hubungan kekerabatan dengan kepala daerah, kemudian mencalonkan diri, akan berdampak pada menjadi terganggunya keamanan negara. Saya rasa tidak. Kalau seandainya malah dipaksakan revisi ini, malah justru berpotensi akan bertentangan dengan UUD.

Sebagian kalangan berpendapat apabila usulan Kemendagri itu disahkan, maka merupakan pelanggaran HAM. Bagaimana pendapat Anda?
            Saya melihat dalam kasus revisi UU No 32/2004 yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri, saya rasa itu tidak merupakan alasan yang tepat untuk membatasi hak orang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Justru kalau hal ini dipaksakan, malah akan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sesuai dengan hak-hak azasi manusia (HAM).

Sebagian kalangan yang lain juga ada yang menilai, kalau hal ini dibiarkan akan menodai demokrasi. Bagaimana menurut Anda?
            Demokrasi pada prinsipnya adalah persamaan setiap orang di depan hukum dan partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan. Kalau kita lihat, katakanlah seseorang yang memiliki hubungan famili dengan salah seorang kepala daerah akan mencalonkan. Dimana aspek yang melanggar partisipasi masyarakat? Justru kalau dibatasi, dari sisi demokrasi, justru menghalangi partisipasi orang, menghalangi orang untuk diperlakukan sama di depan hukum. Tapi, masyarakat mungkin hanya melihat dari sisi praktisnya selama ini. Agak geram memang, kita melihat trend seperti ini. Kadang-kadang, calon yang diusung tidak punya kemampuan, tetapi karena mentang-mentang suaminya kepala daerah lalu dipaksakan. Kita tidak tahu, apakah ada bargaining politik dibelakangnya. Padahal yang kita pertaruhkan adalah nasib kepentingan orang banyak.

Jadi, bagaimana sebaiknya?
            Tidak semua harus dipaksakan dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi sekarang ini bukan seperti jaman dulu. Sekarang ini kita harus menghargai masyarakat kita. Bahwa masyarakat kita tidak lagi sebodoh yang kita bayangkan. Masyarakat sudah cerdas dalam mempelajari segala sesuatu. Biarkan saja masyarakat yang akan menseleksi secara alamiah.

Jhoni Irwan, adik ipar Gubernur Riau yang kalah di Rohul, bisa dijadikan contoh misalnya?
            Ya, kan kalah. Jadi sebenarnya kan masyarakat sudah tahu. Tetapi manatahu ada kerabat kepala daerah yang baik, mungkin pola manajerialnya juga disukai masyarakat. Namun karena adanya larangan dalam revisi tersebut jadi tidak disukai masyarakat. Seandainya kemudian ini dikatakan akan membangun trah politik, saya rasa kita kembalikan lagi pada kehendak masyarakat. Kalau dia dipilih oleh masyarakat, pasti masyarakat memandang bahwa ia tidak akan berbuat seperti itu. Cuma secara etika politik saja yang kita khawatirkan. Apakah benar-benar pertimbangannya demi kepentingan masyarakat. Atau cuma sekedar memperjuangkan simbol-simbol trah tersebut.

Septina Primawati Rusli, istri Gubernur Riau akan maju sebagai calon walikota. Demikian halnya Evi Mairoza dikabarkan akan ikut. Bagaimana pandangan Anda?
            Itu bagian daripada haknya. Silakan saja. Yang perlu kita ingatkan adalah bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidak cukup dengan figur suaminya yang kepala daerah. Ia harus punya leadership yang baik. Karena yang akan mengambil keputusan adalah dia sendiri. Leadhersipnya ada pada dia. Jadi bukan hanya menjadi bayang-bayang saja. Saya yakin, masyarakat akan cerdas menilai itu. Apakah Septina atau Evi Mairoza. Masyarakat bisa menilainya. Tapi kita hanya berharap bahwa partai politik juga mempertimbangkan itu. Bukan pada kalkulasi-kalkulasi yang lain. Kadang-kadang kita lepas dari pakem seperti itu karena mungkin ada bargaining politik dibelakang itu.

Tetapi, majunya kerabat kepala daerah sebagai calon  kepala daerah, apakah tidak bisa disebut sebagai KKN?
            Kalau berbicara secara hukum, kapan seseorang dikatakan melakukan tindak pidana korupsi itu kan sudah ada aturannya. Kalau itu yang dikhawatirkan. Jadi, siapapun dia kalau melakukan tindak pidana KKN itu bisa ditindak. Misalnya kepala daerah itu melakukan alur kekuasaannya. Kalau dia menggunakan fasilitas Negara, memberikan bantuan-bantuan dan lain sebagainya. Kita sudah mempunyai aturan tentang Pemilu dan juga Pemilukada. Sebenarnya hal ini sudah “ter-rem” disitu. Seandainya peraturan itu benar-benar dilaksanakan secara konsisten.***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar