Sabtu, 19 Maret 2011

Menembus Dinding Tebal "Riau-Jakarta"



Ketika rezim Orde Baru berkuasa, praktis hampir tak satu pun putra Riau yang mampu menjadi tokoh dan memegang peranan penting pada level nasional. Antara Jakarta dan Riau pun ibarat terpisah oleh dinding yang teramat tebal.Saat itu kita hanya mempunyai Letjen Syarwan Hamid, seorang putra Riau yang karir militernya cukup bersinar di pusat. Nama Syarwan mulai popular, ketika ia menjadi Kapuspen ABRI. Kemudian kariernya terus berlanjut hingga menjadi Kasospol ABRI dan Menteri Dalam Negeri. Diluar itu, tidak ada satu pun tokoh Riau yang mampu “menembus” benteng pertahanan pusat. Meskipun demikian, seiring bergantinya rezim pemerintahan, pelan namun pasti, satu persatu putra Riau mulai bermunculan menjadi tokoh nasional. Siapa saja mereka?  

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

AZLAINI AGUS kini bisa bernafas dengan lega. Keinginannya untuk kembali berkantor di “Ibukota” Jakarta tercapai sudah. Namun kali ini ia bukan duduk sebagai anggota DPR RI, melainkan sebagai anggota Ombudsment Republik Indonesia (ORI). Namanya terpilih menjadi salah seorang anggota ORI dalam rapat Komisi II DPR RI, Rabu (19/1).  Terpilih menjadi anggota ORI seakan menjadi obat penawar atas kegagalan Azlaini pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lalu. Pada pemilu lalu, Azlaini merupakan calon anggota DPR RI, namun gagal melenggang ke Senayan. Padahal, ia merupakan “incumbent” karena pada saat itu dirinya sedang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2004-2009.
Kiprah perempuan yang sering dijuluki “Singa Betina” dari Riau di lembaga legislatif pusat pun tergolong bersinar. Ia dikenal sebagai anggota DPR yang vocal. Politisi PAN ini tampil berani saat rapat-rapat di DPR. Tak heran, kalau ia kerap diminta tampil menjadi pembicara diberbagai televisi nasional. Kini, dewi fortuna tampaknya sedang bersama Azlaini Agus. ORI akan menjadi kendaraan terbaik “srikandi” dari Riau ini untuk berkiprah lebih luas pada tataran nasional.
Mengenai tugas barunya itu, Azlaini mengatakan bahwa UU No. 37/Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU No. 25/Tahun 2009 tentang pelayanan publik, ORI diberikan amanah tugas tanggungjawab dan wewenang dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan publik di Republik. Mantan anggota komisi III DPR RI itu mengakui selama ini banyak orang tidak kenal dengan Ombudsman. Kondisi tersebut disebabkan adanya azas yang bersifat universal dan tak bisa dilanggar dalam pelaksanaan tugas Ombudsman yakni azas kerahasiaan.
            DUA BULAN menjelang berakhirnya tahun 2010, salah seorang putra terbaik Riau juga terpilih menjadi salah seorang hakim agung ad hoc Tipikor di Jakarta. Dialah Syamsul Rakan Chaniago. Publik di bumi lancang kuning mengenalnya sebagai salah seorang pengacara yang handal. Kehebatannya dalam hal menangani perkara tidak diragukan lagi. Suaranya juga terkenal vokal yang terkadang membuat pemerintah sedikit gerah. Bersama kawan-kawannya ia pernah mendirikan Fraksi Aryaduta, sebuah perkumpulan tokoh-tokoh masyarakat tempat saling berdiskusi tentang banyak hal. Nama Aryaduta diambil dari nama sebuah hotel tempat ia dan kawan-kawannya biasa berkumpul.
"Saya hakim ad hoc tipikor yang ditaruh di MA dan pertama berasal dari Riau. Sebelumnya kan ada pak Abbas Said, tapi kan itu hakim agung biasa," ujar Syamsul sesaat setelah acara pelantikan di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (27/10/2010). Menurut Syamsul, dirinya mengaku sangat senang dan bahagia dapat terpilih sebagai hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi. Ia pun menganggap hal tersebut anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
"Pertama saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa akhirnya ada putra Riau di tingkat MA," jelasnya. Oleh karena itu, Syamsul berharap masyarakat di Riau tidak melakukan perbuatan kejahatan korupsi. Sebab, jika muncul kasus tersebut, hal itu merupakan beban moral sendiri baginya lantaran menyandang status putra Riau. "Kita berharap tidak banyak korupsi menjadi-jadi, agar saya tidak ada beban moral,"jelasnya.
            MASIH dalam tahun 2010 juga, orang nomor satu di Riau yakni Gubernur Riau HM Rusli Zainal juga melenggang menjadi tokoh nasional, dengan terpilihnya ia sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI masa bakti 2010-2015. SOKSI merupakan organisasi yang melahirkan berdirinya Partai Golkar. Rusli Zainal terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Depinas SOKSI Munas IX (lanjutan) di Hotel Royal Safari Garden, Cisarua, Bogor, Jawa Barat pada 23 Juni 2010. Ini membuktikan bahwa Rusli Zainal telah menjadi figur pimpinan nasional.
Secara resmi, HM Rusli Zainal kemudian melantik pengurus Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI periode 2010-2015 pada Senin (4/10) di Balai Kartini, Jakarta. Pelantikan juga dihadiri Ketua Dewan Pembina Soksi Oetojo Oesman. ‘’Kita akan buktikan bahwa Depinas sekarang ini adalah ujung tombak dan siap memenangkan Golkar pada 2014 mendatang. Beban kita memang berat, tapi ini adalah tugas mulia. Saya tegaskan, bahwa Soksi tetaplah satu. Dan kepengurusan terbentuk sesuai dengan azas, amanat pendiri, sesepuh dan AD/ART organisasi yang menjadi acuan tertinggi,” tegas Rusli.
Sebelum itu, pada Munas Partai Golkar yang diselenggarakan di Pekanbaru dan memenangkan Aburizal Bakrie, Rusli Zainal juga sebenarnya sudah tercatat sebagai tokoh nasional. Karena dalam struktur kepengurusan Aburizal, ia masuk menjadi salah seorang Ketua DPP Partai Golkar.
JAUH sebelum itu juga, tercatat salah seorang putra terbaik Riau menjadi tokoh nasional, yakni Ir. Lukman Edi. Ia menjabat sebagai sekjen DPP Partai Kebangkitan Bangsa. Melalui PKB, kemudian mengantarkan putra kelahiran Indragiri Hilir ini menjadi menteri Pengentasan Desa Tertinggal (PDT). Lukman Edi pun mencatatkan sejarah baru bagi Bumi Lancang Kuning, satu-satunya putra daerah Riau yang terpilih menjadi menteri setelah Letnan Jendral Syarwan Hamid. Meski saat ini ia sudah tidak menjadi menteeri lagi, namun ia masih menjabat sebagai anggota DPR RI dari PKB.
DERETAN  nama lain juga menjadi catatan kita, seperti Wan Abu Bakar yang terpilih menjadi salah seorang Ketua DPP PPP. Dikalangan generasi muda, tercatat nama seperti Sahril Abubakar yang menjadi salah seorang Ketua DPP SPSI, Mafirion menjadi salah seorang pengurus PSSI. Dan juga Yulisman yang menjadi salah seorang wakil ketua DPP KNPI. Tidak salah lagi, selangkah lagi Provinsi Riau akan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masional***


"Pemuda Kita Mesti Menjadi Pemuda yang Mandiri"





Muda, lincah,cerdas dan energik itulah kesan pertama ketika kita berhadapan dengan sosok yang menjadi tamu Daulat Riau minggu ini. Sekali terjun ke kancah politik, langsung terpilih menjadi anggota DPRD Riau. Tidak tanggung-tanggung, bertempur di medan yang terbilang berat yakni daerah pemilihan (dapil) Kota Pekanbaru, ia mampu melenggang mulus ke Gedung Lancang Kuning DPRD Riau. Ia pun mematahkan mitos, bahwa selama ini wakil-wakil rakyat selalu didominasi oleh kalangan generasi tua. Ia mampu membuktikan, bahwa generasi muda mempunyai kemampuan apabila diberikan kesempatan. Siapakah dia dan bagaimana kiprahnya diluar tugas-tugasnya  sebagai wakil rakyat?

Laporan Subur Ratno, Pekanbaru

            ORANGTUANYA memberikan nama Faisal Aswan. Meski, usianya tergolong masih sangat muda namun kiprahnya tidak bisa diragukan lagi di Bumi Lancang Kuning. Ketika dilantik menjadi anggota DPRD Riau September 2009 lalu, umurnya baru 28 tahun. Tentunya, merupakan sebuah prestasi yang sangat luar biasa untuk ukuran seorang anak muda seusia itu mampu terpilih menjadi anggota DPRD tingkat provinsi. Ia pun “dinobatkan” sebagai anggota termuda.
            Diluar tugasnya sebagai anggota dewan, politisi Partai Golkar ini juga disibukkan dengan mengurus sebuah organisasi kepemudaan yakni Karang Taruna. Ia merupakan Ketua Karang Taruna Provinsi Riau. Ketika Daulat Riau menghubunginya, Faisal bahkan masih berada di kabupaten Siak untuk melakukan konsolidasi Karang Taruna di “Negeri Istana” tersebut. Nama karang taruna, tentunya sudah tidak terasa asing lagi di telinga kita. Tersebab, Karang Taruna merupakan wadah tempat berhimpunnya para pemuda yang keberadaannya sejak dulu telah menjangkau hingga ke desa-desa.
Dijelaskan Faisal, Karang Taruna juga merupakan mitra strategis pemerintah dalam proses-proses pembangunan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang pemerintahan desa, menempatkan Karang Taruna sebagai kelembagaan yang berada di desa atau kelurahan yang diharapkan mempunyai kepekaan sosial termasuk didalamnya memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam dirinya seperti masalah pengangguran, keagamaan, keolahragaan dan lain lain.
“Kita mengharapkan, generasi muda kita mampu untuk mengembangkan semangat berwirausaha dan membuka lapangan usaha. Pemuda kita mesti menjadi pemuda yang mandiri,” ujar pria kelahiran Indragiri Hilir ini. Untuk mendorong semangat kemandirian pemuda menurut Faisal, Karang Taruna mempunyai program andalan yakni KUBE (Kelompok Usaha Bersama). Menurut Faisal, pihaknya akan merealisasikan penyediaan bantuan usaha untuk Karang Taruna. “Untuk Kota Pekanbaru, pada tahun 2011 setiap kelurahan akan diberikan bantuan usaha,” jelas anggota DPRD Riau dapil Kota Pekanbaru ini dengan mantap.
Ditangan seorang Faisal, Karang Taruna menjelma menjadi organisasi yang besar dan diperhitungkan. Seakan-akan, Karang taruna kembali menemukan “ruh”-nya seperti pada masa-masa Orde Baru dulu. Tidak bisa dipungkiri, Karang Taruna memang begitu melekat keberadaannya ditengah-tengah pemuda di desa-desa ketika itu. Namun, seiring tumbangnya Soeharto, eksistensi Karang Taruna pun mulai meredup. Kini, Faisal mampu membangkitkan kembali semangat pemuda-pemuda di Riau untuk ber-Karang Taruna.
            Konsolidasi-konsolidasi organisasi pun terus digiatkan dan digalakkan. Dalam kerangka itu, ia menargetkan bahwa Karang Taruna akan terbentuk di 153 kecamatan dari 12 kabupaten/kota se-Riau. Dengan semakin besarnya jaringan Karang Taruna, ia juga mengharapkan pemerintah memberikan perhatian dan pembinaan-pembinaan. “Sehingga suatu saat nanti akan muncul kader-kader Karang Taruna yang berprestasi yang mempunyai aktivitas yang berguna bagi masyarakat, daerah, bangsa dan negara,” ujar tokoh muda “beringin” ini menutup perbincangan***


"Prioritaskan Kader, Tidak Menutup Kemungkinan Mendukung Orang Lain"



Citra yang melekat selama ini terhadap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partainya orang-orang tua, tampaknya akan segera berakhir. Terpilihnya Said Usman Abdullah menjadi Ketua DPC PPP Kota Pekanbaru periode 2011-2016 mengisyaratkan banyak perubahan terhadap partai berlambang ka’bah ini. Said Usman merupakan sosok yang representative mewakili generasi muda PPP Kota Pekanbaru. “PPP perlu penyegaran,” ujar anggota DPRD Kota Pekanbaru ini ketika menggelar konferensi pers di Rumah Makan Karya Moksima, Kamis (20/1). Bagaimanakah penyegaran yang dimaksud dan bagaimana sikap PPP terhadap pemilukada Kota Pekanbaru 2011 ini?


Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

            TONGKAT estafet kepemimpinan DPC PPP Kota Pekanbaru kini berada di tangan Said Usman Abdullah. Dalam musyawarah cabang (muscab) yang diselenggarakan di Hotel Mutiara Merdeka pada 17-18 Januari lalu, ia berhasil mengalahkan kandidat lain yakni ketua demisioner Afrizal Ds dengan perolehan 13:11 suara. Meski, sebenarnya tidak ada istilah paket pasangan dalam muscab ini, namun sejak awal Said Usman telah menggandeng Zulkarnain sebagai “tandem”nya untuk menduduki kursi sekretaris partai apabila terpilih. Keduanya merupakan generasi muda dan sama-sama anggota DPRD Kota Pekanbaru.
Banyak kalangan berpendapat, PPP akan memasuki babak baru. Persepsi yang selama ini terbangun bahwa regenerasi kepemimpinan di tubuh partai berjalan sangat lambat akhirnya terbantahkan. “PPP perlu penyegaran. Apalagi selama dalam perjalanan ini, PPP selalu diidentikkan dengan partainya orang-orang tua. Ke depan, kita ingin merubah image bahwa PPP bukan hanya partainya orang-orang tua. Sekarang anak muda juga ada di dalam PPP. Dan kita siap untuk memenangkan PPP dimasa yang akan datang”, jelas Said Usman dengan mantap. Namun demikian, kami juga menghargai kaum tua yang telah banyak memberikan pandangan-pandangan kepada kami. Karena kami berprinsip, tanpa mereka kami tidak akan ada disini untuk membangun dan membesarkan partai ini.
            Sebagai ketua yang baru, dirinya akan memprioritaskan untuk berkordinasi terlebih dahulu dengan DPAC-DPAC se- Kota Pekanbaru. Ia menginginkan periode sekarang harus lebih baik dari periode sebelumnya. “Sasaran kita tentu menuju ke bawah. Kita akan berkordinasi dulu, karena mereka ini kan ada yang baru dan ada yang melanjutkan. Jadi, kita akan mengadakan kordinasi dengan DPAC-DPAC se-Kota Pekanbaru. Kita akan membahas apa yang perlu dikerjakan dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Pekanbaru,” ujar putra pemilik Hotel Indrapura ini.
Dikatakannya, bahwa pihaknya bertekad akan bekerja keras guna menambah perolehan kursi PPP di DPRD Kota Pekanbaru. Ia menargetkan, pada pemilu 2014 nanti PPP akan memperoleh sebanyak 8 kursi. “Kita tidak muluk-muluklah. Cukup 8 kursi atau sekitar 100 persen dari sekarang”, tegasnya. Terkait sikap PPP yang sampai saat ini belum berani memutuskan pencalonan walikota dan wakil walikota Pekanbaru, Said menjelaskan bahwa selama ini sebenarnya PPP sudah membuat desk pilkada, namun karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi, tentunya kita akan lihat kembali.
Tetapi Said tidak menampik, kemungkinan calon yang akan diajukan dari kadernya sendiri. “Kita tentu akan mengutamakan kader. Oleh karena itu kita akan menginventarisir kader-kader yang layak untuk dicalonkan. Kalau ada peluang kenapa tidak?” jelas adik kandung calon Bupati Siak Said Muhammad ini. Namun begitu, tidak menutup kemungkinan juga PPP akan mendukung orang lain. Asal, orang tersebut mempunyai prinsip dan program serta kesamaan visi dengan PPP. Tentunya, kita berharap hal ini akan bermanfaat bagi PPP dan bermanfaat bagi Kota Pekanbaru. Sehingga nantinya tidak akan ada sikap saling salah-menyalahkan.***



Perempuan Mampu Menjadi Pemimpin


           

John Naisbitt dalam buku Megatrends 2000 menyebut ada sepuluh trend yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam millennium ini. Salah satunya adalah “Dasawarsa dalam Kepemimpinan”. Diperkirakan, kepemimpinan perempuan ke depan akan semakin menguat. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya “kaum hawa” yang duduk dalam posisi-posisi strategis baik di legislative, eksekutif maupun sector professional. Keterlibatan kaum perempuan dalam dunia politik juga dirasakan semakin menambah dinamika kehidupan politik. Menyadari hal ini, kalangan partai-partai politik pun, tidak luput memberikan wadah bagi kaum perempuan yakni melalui pembentukan sayap partai. Partai Demokrat, sebagai partai modern juga memiliki organisasi sayap bagi kalangan perempuan yakni Perempuan Demokrat Republik Indonesia (PDRI). Sabtu pagi (19/2) bertempat di Hotel Premier Pekanbaru dideklasikanlah PDRI Provinsi Riau yang diketuai oleh Rita Sahara, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Riau.Bagaimanakah sosok dan pemikirannya?

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru


            KIBARAN bendera “biru” Partai Demokrat menghiasi ruas jalan Jendral Sudirman, Sabtu pecan lalu. Sejak tampuk pimpinan Partai Demokrat Riau dipegang oleh HR Mambang Mit, Demokrat terus berbenah. HR Mambang Mit yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Riau memang cukup membuat antusiasme kader-kader Demokrat Riau semakin tinggi. Kibaran bendera yang berada di jalan-jalan itu ternyata  tidak hanya bendera partai saja, tetapi masih ada satu lagi bendera yang kelihatannya masih asing di pelupuk mata kita. Warnanya biru identik dengan Demokrat, namun logonya berbentuk semacam bunga. Bendera tersebut adalah bendera organisasi sayap perempuan partai besutan “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono” yakni Perempuan Demokrat Republik Indonesia (PDRI). Pagi itu adalah acara pelantikan PDRI Provinsi Riau yang diketuai oleh Rita Sahara, salah seorang anggota DPRD Provinsi Riau.
            Suasana Ballroom Hotel Premier yang belum lama ini beroperasi pun terasa begitu meriah. Ratusan kader Partai Demokrat Riau tampak hadir. Tak terkecuali Ketua DPD Demokrat Riau, HR Mambang Mit, Sekretaris DPD Riau Koko Iskandar, dan Anggota DPR RI dari Partai Demokrat daerah pemilihan Riau, M. Nasir. Rita Sahara, secara resmi dilantik oleh Ketua Umum DPP PDRI, Ibu Titiek Budhisantoso. Titiek Budisantoso merupakan istri mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat pertama, Subur Budhisantoso.
            “Dalam perkembangan peradaban dunia saat ini, perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga. Tetapi perempuan juga mampu menjadi  pemimpin baik didalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara,” ujar Rita Sahara sesaat setelah pelantikan dirinya sebagai Ketua DPD PDRI Provinsi Riau. Menurut anggota DPRD Riau daerah pemilihan Inhil ini, PDRI merupakan bagian tidak terpisahkan dari Partai Demokrat yang bertujuan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat yang demokratis, sejahtera, aman dan damai. Terkait kondisi kekinian menyangkut kaum perempuan, Rita Sahara menyatakan bahwa meskipun dominant dalam jumlah, namun dalam realitanya kaum perempuan belum memaksimalkan perannya di tengah-tengah masyarakat.
            “Fakta membuktikan bahwa perempuan masih menjadi objek dalam rumah tangga. Perdagangan perempuan (trafficking) masih marak terjadi dan berbagai masalah lain yang menyangkut kaum perempuan. Itulah potret buram perempuan di Indonesia,” jelasnya. Hal tersebut kata Ketua Fraksi Demokrat DPRD Riau itu, adalah suatu hal yang masih terus diperjuangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengingat presentasinya merupakan dominant di Indonesia.
            Menyinggung tentang organisasi, Rita mengatakan bahwa Visi PDRI adalah menegakkan keadilan, demokrasi dan kesejahteraan dengan memperkuat partisipasi perempuan. Dijelaskan, ada tiga azas yang menjadi pola piker perjuangan PDRI yakni, pertama: Non Diskriminatif, PDRI menyadari benar arti penting keragaman budaya, etnis, adapt istiadat dan budaya bangsa Indonesia. Kedua, Nasionalis, PDRI merupakan organisasi yang sangat menjunjung tinggi semangat cinta tanah air, bangsa dan Negara serta siap untuk membela bangsa dan Negara. Ketiga, Religius, PDRI berpandangan aspek religius merupakan aspek yang sangat penting yang mengatur sendi-sendi dalam kehidupan.
            Keberadaan perempuan dalam dunia politik memang tidak dinafikkan lagi. Hal ini terjadi pasca reformasi dimana terjadi perubahan yang mendasar dalam peraturan perundang-undangan. Kran partisipasi perempuan dalam pemilihan umum (pemilu) untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD  dan DPD terbuka lebar. Bahkan, pada pemilu 2009 yang lalu, menurut UU Pemilu, partai-partai politik wajib memasukkan kuota 30 persen perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) anggota legislative. Selamat buat Ibu Rita Sahara, Ketua PDRI Provinsi Riau….

Jumat, 18 Maret 2011

Saatnya yang Muda Memikirkan Pelalawan



Tak kurang dua pekan lagi, Kabupaten Pelalawan akan menggelar pemilihan Bupati dan Wakil Bupati periode 2011-2016. Hingga tanggal 12 Februari ini, tahapan pemilukada memasuki masa kampanye. Empat hari setelah itu,adalah masa tenang. Puncaknya, permainan akhir akan ditentukan pada hari Kamis, 16 Februari. Ada tiga kandidat yang akan memperebutkan “singgasana” Pelalawan Satu. Ketiga tokoh pasangan calon yang berkompetisi merupakan putra-putra terbaik negeri seiya sekata. “Kabupaten Pelalawan pernah menjadi kabupaten terbaik di Riau dan terbaik ke 3 untuk skala nasional,” ujar pasangan T.Khalil Ja’afar dan Husni Thamrin saat kampanye di Kecamatan Sie Kijang, pada Jumat (4/2). Ada sisi yang  menarik dari pasangan bernomor urut 2 ini yakni munculnya calon wakil bupati dari kalangan generasi muda. Meski masih sangat muda, namun sarat dengan berpengalaman. Sosok itu adalah H. Husni Thamrin. Siapakah dia dan bagaimanakah kiprahnya di Kabupaten Pelalawan?

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Belasan mobil tampak melakukan konvoi beriringan dengan rapi di ruas jalan lintas timur Kecamatan Sei Kijang. Sebuah mobil ford ranger lengkap dengan foreder tampak berada dibarisan paling depan. Kondisi mobil itu telah berbeda dari aslinya. Cat mobil diganti berwarna hijau muda, dengan dihiasi berbagai tulisan dan logo. Tepat dibelakangnya terdapat dua buah mobil mewah berbody besar, jenis Lexus dan Toyota Landcruiser. Masing-masing  bernomor plat BM 1158 CA dan BM 2 CA. Dibelakangnya, terdapat  puluhan mobil dengan jenis dan tipe yang berbeda seperti Terano, CRV, Honda Jazz hingga Innova  dan Avanza.
Yang cukup menarik adalah dua mobil mewah yang berada di urutan depan. Dari atas atap mobil yang bernilai milyaran itu, terbuka ruang yang sedikit sempit, hanya cukup untuk satu orang saja. Dari celah ruang di atap mobil itu, muncul sosok seorang melambai-lambaikan tangannya sepanjang jalan. Kedua tokoh itu seakan hendak menyapa masyarakat yang ada di sepanjang jalan. Konvoi itu adalah rombongan calon bupati/wakil bupati yang lebih dipopularkan dengan  nama BERKAT (Bersama Khalil-Thamrin). Konvoi berakhir di sebuah lapangan yang berjarak sekitar 100 meter dari jalan Lintas Timur. Hari itu merupakan jadwal kampanye “berkat” di Sei Kijang.
Alunan musik telah menggema. Ribuan pendukung pun telah “menghijaukan” seisi lapangan menyambut calon pemimpinnya. Mengenakan jas berwarna merah dan bermotif garis-garis, Drs. H. T. Khalil Ja’far dan H. Husni Thamrin tampak begitu gagah dan menawan. Begitu turun dari mobil langsung dielu-elukan pendukungnya menuju ke panggung. Pasangan ini disebut-sebut banyak kalangan merupakan pasangan yang ideal untuk kemajuan Pelalawan ke depan. Mewakili unsur generasi tua dan generasi muda serta memadukan antara birokrat dan politisi. Hal ini jelas, sebuah keunggulan tersendiri dibandingkan dengan dua kandidat yang lainnya.
Munculnya nama H. Husni Thamrin yang menjadi calon wakil bupati mendampingi Khalil Jaafar merupakan bukti nyata bahwa generasi muda Pelalawan telah mampu menjadi pemimpin daerah. Husni Thamrin, diyakini para pengamat politik lokal akan menjadi “magnet” politik dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemilih pemula yang jumlahnya cukup signifikan di kabupaten bekas Kerajaan Pelalawan ini. Dalam orasi politiknya, Thamrin mengatakan bahwa 3 (tiga) tahun yang lalu, Kabupaten Pelalawan di bawah kepemimpinan bupati Azmun Ja’afar, mendapat prestasi sebagai kabupaten terbaik di Provinsi Riau dan terbaik ke-3 se Indonesia. Namun saat ini, Pelalawan kembali terpuruk dan tertinggal dengan daerah-daerah lainnya di Riau. Azmun, merupakan adik kandung T. Khalil Ja’afar, sang calon bupati.
Melihat kondisi 3 tahun terakhir Pelalawan yang jauh tertinggal, darah muda Thamrin pun bangkit. Ia mengecam cukup keras terhadap kinerja pemerintah saat ini. “Apa yang kita lihat 3 tahun ini, APBD Pelalawan yang semula 1,3 triliun turun menjadi 1 triliun. Itu artinya pemimpin kita tidak mengerti dalam mengelola pemerintahan. Sudah saatnya Pelalawan dipimpin oleh orang yang benar-benar mengerti tentang pemerintahan. Pak Khalil merupakan sosok birokrat senior yang telah lebih dari 32 tahun mengabdikan hidupnya di pemerintahan. Beliau sudah sangat berpengalaman karena memulai karir dari bawah mulai dari menjadi kepala desa, camat, kepala dinas, hingga staf ahli Gubernur Riau,” ujar Thamrin dengan berapi-api sambil memperkenalkan pasangannya itu kepada ribuan pendukungnya.
Kepada kalangan generasi muda, Thamrin juga mengatakan bahwa sudah saatnya yang muda untuk memikirkan kabupaten hasil pemekaran Kampar ini. “Sudah saatnya yang muda memikirkan Pelalawan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi waktunya?,” jelas ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) Pelalawan ini Berkali-kali, ia menyebutkan kata-kata itu dalam orasinya. Tentunya, ia hendak menyampaikan pesan dan motivasi kepada anak-anak muda Pelalawan untuk berfikir dan berbuat demi kemajuan kampung halaman. Kiprah pria kelahiran Sorek Satu, 23 Desember 1979 ini di panggung politik dan organisasi kepemudaan tidak diragukan lagi. Meski usianya baru menginjak 31 tahun, namun Husni Thamrin tercatat telah dua periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Pelalawan (2004-2009, 2009-2014). Sebuah prestasi politik yang sungguh sangat luar biasa bagi seorang anak muda.
Di organisasi kepemudaan, saat ini ia juga menjadi Ketua DPD KNPI Kabupaten Pelalawan (2007-2011). Tidak hanya itu saja, Thamrin juga merupakan Ketua SPSI Kabupaten Pelalawan, sebuah organisasi tempat berhimpunnya para pekerja dan buruh di tanah air. Selamat dan sukses Bung Thamrin***

"Kalau Dipaksakan Akan Bertentangan Dengan UUD"

KEMENTRIAN Dalam Negeri (Kemendagri) berupaya memperketat syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Melalui revisi UU No 32/2004, Kemendagri akan melarang kerabat terdekat seperti anak, saudara kandung atau istri kepala daerah yang sedang menjabat untuk ikut Pemilukada. Usulan ini akan diperjuangkan Kemendagri untuk disahkan menjadi UU. Karena  dalam UU No 32/2004 saat ini belum diatur, sehingga membuka peluang terbentuknya “dinasti politik” berdasarkan kekeluargaan atau kekerabatan yang jelas akan menodai makna demokrasi. Publik merespon dengan beragam pendapat. Ada yang menolak dan tidak sedikit pula yang mendukung. Untuk mengetahui lebih jauh persoalan ini, berikut petikan wawancara Daulat Riau, Kamis, 22/2 dengan Dodi Haryono, Shi, SH, MH, pakar hukum tata Negara dari Universitas Riau…

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Bagaimana Anda memandang revisi UU No 32/2004 yang diajukan Kemendagri yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk ikut serta dalam pemilukada?
Berbicara dalam konteks politik, mungkin dari sisi etika politik bisa dipahami. Maksud untuk bagaimana terdistribusikannya masalah kepala daerah tidak hanya berdasarkan satu “trah”. Karena ada juga yang merasa bahwa “itu-itu saja” dari tahun ke tahun apakah kekuasaan itu dilanjutkan pada istri, anak maupun kerabat dekat, sehingga dianggap sepertinya kurang pantas. Tetapi persoalannya adalah ketika ditinjau dari aspek hukum. Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah hak semua orang. Jadi, apakah kita mau jadi kepala daerah atau yang lainnya pada prinsipnya sah-sah saja. Dan itu merupakan hak konstitusional yang dilindungi UUD 1945.

Apakah hak ini bisa dibatasi?
            Dalam undang-undang dasar, pembatasan sangat dimungkinkan. Tetapi pembatasan dilakukan dalam konteks untuk menegakkan, menjaga kebebasan hak orang lain. Dibatasi artinya adalah ada hak masyarakat untuk berpartisipasi. Secara umum, saya tidak melihat apakah anak beranak, sepupu dan segala macamnya. Namun pembatasan itu ada alasan-alasannya. Ada 3 alasan mendasar, yakni pertama, untuk menjamin kebebasan hak orang lain. Kedua, untuk menjamin hak-hak azasi manusia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan prinsip-prinsip agama. Ketiga, untuk menjamin kepentingan umum dan keamanan negara.

Bukankah revisi UU 32/2004 merupakan upaya pembatasan hak dimaksud?
            Misalnya, ketika seseorang yang ada hubungan kekerabatan dengan kepala daerah itu akan mencalonkan diri lalu dilarang, apakah itu telah sesuai dengan prinsip-prinsip dimungkinkannya pembatasan itu? Menurut saya tidak. Umpamanya apakah nantinya dengan adanya hubungan kekerabatan dengan kepala daerah, kemudian mencalonkan diri, akan berdampak pada menjadi terganggunya keamanan negara. Saya rasa tidak. Kalau seandainya malah dipaksakan revisi ini, malah justru berpotensi akan bertentangan dengan UUD.

Sebagian kalangan berpendapat apabila usulan Kemendagri itu disahkan, maka merupakan pelanggaran HAM. Bagaimana pendapat Anda?
            Saya melihat dalam kasus revisi UU No 32/2004 yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri, saya rasa itu tidak merupakan alasan yang tepat untuk membatasi hak orang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Justru kalau hal ini dipaksakan, malah akan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sesuai dengan hak-hak azasi manusia (HAM).

Sebagian kalangan yang lain juga ada yang menilai, kalau hal ini dibiarkan akan menodai demokrasi. Bagaimana menurut Anda?
            Demokrasi pada prinsipnya adalah persamaan setiap orang di depan hukum dan partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan. Kalau kita lihat, katakanlah seseorang yang memiliki hubungan famili dengan salah seorang kepala daerah akan mencalonkan. Dimana aspek yang melanggar partisipasi masyarakat? Justru kalau dibatasi, dari sisi demokrasi, justru menghalangi partisipasi orang, menghalangi orang untuk diperlakukan sama di depan hukum. Tapi, masyarakat mungkin hanya melihat dari sisi praktisnya selama ini. Agak geram memang, kita melihat trend seperti ini. Kadang-kadang, calon yang diusung tidak punya kemampuan, tetapi karena mentang-mentang suaminya kepala daerah lalu dipaksakan. Kita tidak tahu, apakah ada bargaining politik dibelakangnya. Padahal yang kita pertaruhkan adalah nasib kepentingan orang banyak.

Jadi, bagaimana sebaiknya?
            Tidak semua harus dipaksakan dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi sekarang ini bukan seperti jaman dulu. Sekarang ini kita harus menghargai masyarakat kita. Bahwa masyarakat kita tidak lagi sebodoh yang kita bayangkan. Masyarakat sudah cerdas dalam mempelajari segala sesuatu. Biarkan saja masyarakat yang akan menseleksi secara alamiah.

Jhoni Irwan, adik ipar Gubernur Riau yang kalah di Rohul, bisa dijadikan contoh misalnya?
            Ya, kan kalah. Jadi sebenarnya kan masyarakat sudah tahu. Tetapi manatahu ada kerabat kepala daerah yang baik, mungkin pola manajerialnya juga disukai masyarakat. Namun karena adanya larangan dalam revisi tersebut jadi tidak disukai masyarakat. Seandainya kemudian ini dikatakan akan membangun trah politik, saya rasa kita kembalikan lagi pada kehendak masyarakat. Kalau dia dipilih oleh masyarakat, pasti masyarakat memandang bahwa ia tidak akan berbuat seperti itu. Cuma secara etika politik saja yang kita khawatirkan. Apakah benar-benar pertimbangannya demi kepentingan masyarakat. Atau cuma sekedar memperjuangkan simbol-simbol trah tersebut.

Septina Primawati Rusli, istri Gubernur Riau akan maju sebagai calon walikota. Demikian halnya Evi Mairoza dikabarkan akan ikut. Bagaimana pandangan Anda?
            Itu bagian daripada haknya. Silakan saja. Yang perlu kita ingatkan adalah bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidak cukup dengan figur suaminya yang kepala daerah. Ia harus punya leadership yang baik. Karena yang akan mengambil keputusan adalah dia sendiri. Leadhersipnya ada pada dia. Jadi bukan hanya menjadi bayang-bayang saja. Saya yakin, masyarakat akan cerdas menilai itu. Apakah Septina atau Evi Mairoza. Masyarakat bisa menilainya. Tapi kita hanya berharap bahwa partai politik juga mempertimbangkan itu. Bukan pada kalkulasi-kalkulasi yang lain. Kadang-kadang kita lepas dari pakem seperti itu karena mungkin ada bargaining politik dibelakang itu.

Tetapi, majunya kerabat kepala daerah sebagai calon  kepala daerah, apakah tidak bisa disebut sebagai KKN?
            Kalau berbicara secara hukum, kapan seseorang dikatakan melakukan tindak pidana korupsi itu kan sudah ada aturannya. Kalau itu yang dikhawatirkan. Jadi, siapapun dia kalau melakukan tindak pidana KKN itu bisa ditindak. Misalnya kepala daerah itu melakukan alur kekuasaannya. Kalau dia menggunakan fasilitas Negara, memberikan bantuan-bantuan dan lain sebagainya. Kita sudah mempunyai aturan tentang Pemilu dan juga Pemilukada. Sebenarnya hal ini sudah “ter-rem” disitu. Seandainya peraturan itu benar-benar dilaksanakan secara konsisten.***



Permaisuri-Permaisuri Calon Pewaris Tahta

Coffe morning  Gubernur Riau dengan kalangan wartawan di kediaman Jalan Diponegoro, 7 April tahun lalu berakhir dengan satu kesimpulan penting. Ibu Septina Primawati Rusli, istri Gubernur Riau HM Rusli Zainal “mendeklarasikan”  maju sebagai calon Walikota Pekanbaru 2011-2016. ''Atas restu Gubernur Riau, dan tak ada larangan dalam aturan, serta banyaknya dukungan masyarakat sejak tahun 2009, maka dengan mengucap Bismillah, saya siap lahir bathin untuk ikut pilkada di Pekanbaru. Saya mencoba siap memenuhi harapan masyarakat,'' ujar Septina ketika itu..Seakan tak mau ketinggalan, meski masih terkesan malu-malu dan belum mendeklarasikan, Ibu Evi Meiroza Herman, istri Walikota Herman Abdullah pun dikabarkan akan ikut berkompetisi.  “Permaisuri-permaisuri” itu pun akan menjadi pewaris mahkota...

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Inspirasi itu datang dari negeri penghasil minyak, Bontang Kalimantan Timur. Kota yang cukup terkenal karena klub sepakbolanya yang terbilang hebat di tanah air, PKT Bontang menjadi acuan Gubernur Flamboyan dari Riau ini. Disana, kolega sang Gubernur, tak lain adalah Walikota Bontang. Istri walikota menjadi Ketua DPRD dan bahkan menjadi kandidat terkuat calon walikota menggantikan suaminya yang sudah dua periode menjabat. Dari Bontang, Gubernur membawa kita terbang ke sebuah kota di Jawa Timur yang sangat terkenal sebagai gudangnya rokok kretek. Itulah kota Kediri, sekaligus wilayah bekas kerajaan Kediri tempo dulu. Disana, kata gubernur ada dua istri mantan Bupati Kediri, yang sama-sama maju menjadi calon Bupati menggantikan suaminya.
            Dua kota itulah yang dicontohkan Gubernur Riau HM Rusli Zainal ketika mendeklarasikan secara resmi pencalonan istrinya, Septina Primawati untuk maju menjadi walikota Pekanbaru. Lebih elegan lagi, kalau Gubernur juga merujuk pada sosok Ani Yudhoyono, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit halaman 479, Ani Yudhoyono menulis “Jika SBY sudah tidak jadi presiden”, sambung Ani, “maka kedudukan terhormat buatku adalah tetap menjadi Nyonya SBY, bukan menjadi presiden”. Hal ini mengandung makna bahwa ia tidak mau untuk dicalonkan menjadi Presiden pasca suaminya habis masa jabatan untuk kedua kalinya. Meski orang-orang disekelilingnya terus mendorong untuk maju, namun Ani tetap saja menolak.
“Mau menjadi kepala daerah, atau apapun, pada prinsipnya sah-sah saja. Itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD,” ujar Dodi Haryono akademisi dari Universitas Riau. Semua orang, kata Dodi mempunyai hak yang sama untuk ikut berperanserta dalam pemerintahan. Munculnya para istri maupun kerabat kepala daerah yang lain untuk ikut mencalonkan menjadi kepala daerah, cukup menjadi kerisauan tersendiri bagi Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Kemendagri sedang mengusulkan revisi UU No 32/2004 yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri dalam pemilukada. Karena dalam UU No 32/2004 saat ini, belum diatur sehingga membuka peluang terbentuknya politik kekerabatan (dinasti politik).
“Kalau kita lihat fenomena yang ada di lapangan, usulan Kemendagri itu rasional atau masuk akal. Karena apa? Karena memang ada kecenderungan, misalnya seorang Bupati yang sudah dua periode, karena menurut ketentuan tidak boleh mencalonkan kembali, kemudian ia memberikan pada salah satu keluarganya. Dan ini di beberapa daerah fenomenanya seperti itu, bahkan ada yang jadi,” ujar Azam Awang, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Pasca Sarjana UIR. Fenomena ini, menurut Azam Awang secara demokratis itu ok, tidak ada persoalan. Karena secara demokrasi. Siapapun punya peluang dan hak yang sama. Tetapi trend ini, seolah-olah adalah tren melanjutkan dan melanggengkan rezim kekuasaan.
Menurut Azam Awang, tradisi ini memang perlu diantisipasi. “Kalaupun dia akan maju, nanti jangan terkena pada saat suaminya selesai periode kedua, kemudian melanjutkan periode pada kerabatnya itu,” terang Azam. Karena, tambah Azam jangan sampai ada kesan melanjutkan rezin politik atau pun membentuk dinasti politik, turun temurun dan berkepanjangan. Apalagi kalau kita kaitkan dengan dunia Internasional. Sekarang masyarakat Internasional sudah menyadari kalau kekuasaan yang turun-temurun dan berkepanjangan sesuai dengan teori Lord Action, kekuasaan akan cenderung disalahgunakan.
Dalam waktu yang tidak lama lagi, Kota Pekanbaru akan mengadakan Pemilukada. Dua kutub besar akan bertemu. Jika benar, Evi Meiroza akan maju, ia mewakili kutub penguasa Kota Pekanbaru. Satu kutub lagi adalah penguasa provinsi Riau, istri Gubernur Riau Septina Primawati. Langkah Evi memang belum “selincah” Septina. Septina, sejak tahun lalu telah bergerilya dari segala penjuru mata angin. Septina menembus masuk ke tengah-tengah masyarakat melalui berbagai celah. Kini, ia pun tercatat mengomandoi sekitar delapan organisasi besar, yang secara “terselubung” terus melakukan aktivitas dan pada intinya adalah mensosialisasikan dirinya. Ke delapan organisasi tersebut antara lain Pramuka, BKOW, BKMT, Dekranasda, PKK, Pusdatin, Puanri dan yang teranyar adalah Dekopin Kota Pekanbaru. Dalam organisasi tersebut, Septina duduk sebagai ketua umum maupun dewan Pembina. Diluar itu, masih ada kekuatan-kekuatan lain yang juga ia galang.
Saat ini bahkan wajah-wajah Septina telah bertebaran diberbagai jalan-jalan se-antero Kota Pekanbaru. Baliho baik berukuran sedang maupun besar menghiasi wajah Kota Bertuah. Septina memang turun tidak main-main, ia sangat powerfull. Terlebih dukungan yang teramat kuat juga datang dari sang suami, Gubernur Riau HM Rusli Zainal.Tentang popularitas, figure Septina cukup dikenal. Survei internal yang dilakukan DPD PKS tahun lalu, menyebutkan hanya ada empat calon yang layak maju pada pemilukada Kota Pekanbaru. Keempat calon tersebut adalah Septina Primawati, Erizal Muluk, dan Ayat Cahyadi. Sedangkan nama Evi Meiroza, dalam survey tersebut lebih diposisikan sebagai wakil walikota bersama Dian Sukheri, dan Edi Satria. Menurut survey tersebut, Septina diunggulkan karena merupakan istri dari gubernur Riau.
Azam Awang kembali mengatakan bahwa masuknya kerabat kepala daerah dalam bursa pencalonan, paling tidak akan mengakibatkan suatu kondisi demokrasi yang kurang kondusif. Disinggung apakah tren dinasti politik seperti ini erat kaitanya dengan KKN, Azam mengatakan bahwa sudah terlalu dekat dengan KKN. “Kalau kita lihat dari segi emosional itu sah-sah saja dan wajar. Biasanya yang kita dorong atau orbitkan, memang orang terdekat dengan kita atau orang yang kenal dengan kita. Tapi dengan adanya tren seperti itu, saya pikir terlalu dekat dengan KKN,” terang Azam Awang. Indikasinya, kata pria kelahiran Pulau Lingga, disamping melanjutkan kekuasaannya, tetapi juga dia mengamankan kebijakan yang sudah diambil sebelumnya, termasuk kebijakan-kebijakan yang “menyimpang” dan keliru. “Jadi sangat dekat sekali dengan KKN, kalau tidak boleh kita katakan KKN,” tegasnya.
Bagaimanakah pertarungan dua “permaisuri” berebut mahkota Pekanbaru Satu ini? Kita lihat hasilnya pada bulan April mendatang.***