Sabtu, 19 Maret 2011

Menembus Dinding Tebal "Riau-Jakarta"



Ketika rezim Orde Baru berkuasa, praktis hampir tak satu pun putra Riau yang mampu menjadi tokoh dan memegang peranan penting pada level nasional. Antara Jakarta dan Riau pun ibarat terpisah oleh dinding yang teramat tebal.Saat itu kita hanya mempunyai Letjen Syarwan Hamid, seorang putra Riau yang karir militernya cukup bersinar di pusat. Nama Syarwan mulai popular, ketika ia menjadi Kapuspen ABRI. Kemudian kariernya terus berlanjut hingga menjadi Kasospol ABRI dan Menteri Dalam Negeri. Diluar itu, tidak ada satu pun tokoh Riau yang mampu “menembus” benteng pertahanan pusat. Meskipun demikian, seiring bergantinya rezim pemerintahan, pelan namun pasti, satu persatu putra Riau mulai bermunculan menjadi tokoh nasional. Siapa saja mereka?  

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

AZLAINI AGUS kini bisa bernafas dengan lega. Keinginannya untuk kembali berkantor di “Ibukota” Jakarta tercapai sudah. Namun kali ini ia bukan duduk sebagai anggota DPR RI, melainkan sebagai anggota Ombudsment Republik Indonesia (ORI). Namanya terpilih menjadi salah seorang anggota ORI dalam rapat Komisi II DPR RI, Rabu (19/1).  Terpilih menjadi anggota ORI seakan menjadi obat penawar atas kegagalan Azlaini pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lalu. Pada pemilu lalu, Azlaini merupakan calon anggota DPR RI, namun gagal melenggang ke Senayan. Padahal, ia merupakan “incumbent” karena pada saat itu dirinya sedang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2004-2009.
Kiprah perempuan yang sering dijuluki “Singa Betina” dari Riau di lembaga legislatif pusat pun tergolong bersinar. Ia dikenal sebagai anggota DPR yang vocal. Politisi PAN ini tampil berani saat rapat-rapat di DPR. Tak heran, kalau ia kerap diminta tampil menjadi pembicara diberbagai televisi nasional. Kini, dewi fortuna tampaknya sedang bersama Azlaini Agus. ORI akan menjadi kendaraan terbaik “srikandi” dari Riau ini untuk berkiprah lebih luas pada tataran nasional.
Mengenai tugas barunya itu, Azlaini mengatakan bahwa UU No. 37/Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU No. 25/Tahun 2009 tentang pelayanan publik, ORI diberikan amanah tugas tanggungjawab dan wewenang dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan publik di Republik. Mantan anggota komisi III DPR RI itu mengakui selama ini banyak orang tidak kenal dengan Ombudsman. Kondisi tersebut disebabkan adanya azas yang bersifat universal dan tak bisa dilanggar dalam pelaksanaan tugas Ombudsman yakni azas kerahasiaan.
            DUA BULAN menjelang berakhirnya tahun 2010, salah seorang putra terbaik Riau juga terpilih menjadi salah seorang hakim agung ad hoc Tipikor di Jakarta. Dialah Syamsul Rakan Chaniago. Publik di bumi lancang kuning mengenalnya sebagai salah seorang pengacara yang handal. Kehebatannya dalam hal menangani perkara tidak diragukan lagi. Suaranya juga terkenal vokal yang terkadang membuat pemerintah sedikit gerah. Bersama kawan-kawannya ia pernah mendirikan Fraksi Aryaduta, sebuah perkumpulan tokoh-tokoh masyarakat tempat saling berdiskusi tentang banyak hal. Nama Aryaduta diambil dari nama sebuah hotel tempat ia dan kawan-kawannya biasa berkumpul.
"Saya hakim ad hoc tipikor yang ditaruh di MA dan pertama berasal dari Riau. Sebelumnya kan ada pak Abbas Said, tapi kan itu hakim agung biasa," ujar Syamsul sesaat setelah acara pelantikan di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (27/10/2010). Menurut Syamsul, dirinya mengaku sangat senang dan bahagia dapat terpilih sebagai hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi. Ia pun menganggap hal tersebut anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
"Pertama saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa akhirnya ada putra Riau di tingkat MA," jelasnya. Oleh karena itu, Syamsul berharap masyarakat di Riau tidak melakukan perbuatan kejahatan korupsi. Sebab, jika muncul kasus tersebut, hal itu merupakan beban moral sendiri baginya lantaran menyandang status putra Riau. "Kita berharap tidak banyak korupsi menjadi-jadi, agar saya tidak ada beban moral,"jelasnya.
            MASIH dalam tahun 2010 juga, orang nomor satu di Riau yakni Gubernur Riau HM Rusli Zainal juga melenggang menjadi tokoh nasional, dengan terpilihnya ia sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI masa bakti 2010-2015. SOKSI merupakan organisasi yang melahirkan berdirinya Partai Golkar. Rusli Zainal terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Depinas SOKSI Munas IX (lanjutan) di Hotel Royal Safari Garden, Cisarua, Bogor, Jawa Barat pada 23 Juni 2010. Ini membuktikan bahwa Rusli Zainal telah menjadi figur pimpinan nasional.
Secara resmi, HM Rusli Zainal kemudian melantik pengurus Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI periode 2010-2015 pada Senin (4/10) di Balai Kartini, Jakarta. Pelantikan juga dihadiri Ketua Dewan Pembina Soksi Oetojo Oesman. ‘’Kita akan buktikan bahwa Depinas sekarang ini adalah ujung tombak dan siap memenangkan Golkar pada 2014 mendatang. Beban kita memang berat, tapi ini adalah tugas mulia. Saya tegaskan, bahwa Soksi tetaplah satu. Dan kepengurusan terbentuk sesuai dengan azas, amanat pendiri, sesepuh dan AD/ART organisasi yang menjadi acuan tertinggi,” tegas Rusli.
Sebelum itu, pada Munas Partai Golkar yang diselenggarakan di Pekanbaru dan memenangkan Aburizal Bakrie, Rusli Zainal juga sebenarnya sudah tercatat sebagai tokoh nasional. Karena dalam struktur kepengurusan Aburizal, ia masuk menjadi salah seorang Ketua DPP Partai Golkar.
JAUH sebelum itu juga, tercatat salah seorang putra terbaik Riau menjadi tokoh nasional, yakni Ir. Lukman Edi. Ia menjabat sebagai sekjen DPP Partai Kebangkitan Bangsa. Melalui PKB, kemudian mengantarkan putra kelahiran Indragiri Hilir ini menjadi menteri Pengentasan Desa Tertinggal (PDT). Lukman Edi pun mencatatkan sejarah baru bagi Bumi Lancang Kuning, satu-satunya putra daerah Riau yang terpilih menjadi menteri setelah Letnan Jendral Syarwan Hamid. Meski saat ini ia sudah tidak menjadi menteeri lagi, namun ia masih menjabat sebagai anggota DPR RI dari PKB.
DERETAN  nama lain juga menjadi catatan kita, seperti Wan Abu Bakar yang terpilih menjadi salah seorang Ketua DPP PPP. Dikalangan generasi muda, tercatat nama seperti Sahril Abubakar yang menjadi salah seorang Ketua DPP SPSI, Mafirion menjadi salah seorang pengurus PSSI. Dan juga Yulisman yang menjadi salah seorang wakil ketua DPP KNPI. Tidak salah lagi, selangkah lagi Provinsi Riau akan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masional***


"Pemuda Kita Mesti Menjadi Pemuda yang Mandiri"





Muda, lincah,cerdas dan energik itulah kesan pertama ketika kita berhadapan dengan sosok yang menjadi tamu Daulat Riau minggu ini. Sekali terjun ke kancah politik, langsung terpilih menjadi anggota DPRD Riau. Tidak tanggung-tanggung, bertempur di medan yang terbilang berat yakni daerah pemilihan (dapil) Kota Pekanbaru, ia mampu melenggang mulus ke Gedung Lancang Kuning DPRD Riau. Ia pun mematahkan mitos, bahwa selama ini wakil-wakil rakyat selalu didominasi oleh kalangan generasi tua. Ia mampu membuktikan, bahwa generasi muda mempunyai kemampuan apabila diberikan kesempatan. Siapakah dia dan bagaimana kiprahnya diluar tugas-tugasnya  sebagai wakil rakyat?

Laporan Subur Ratno, Pekanbaru

            ORANGTUANYA memberikan nama Faisal Aswan. Meski, usianya tergolong masih sangat muda namun kiprahnya tidak bisa diragukan lagi di Bumi Lancang Kuning. Ketika dilantik menjadi anggota DPRD Riau September 2009 lalu, umurnya baru 28 tahun. Tentunya, merupakan sebuah prestasi yang sangat luar biasa untuk ukuran seorang anak muda seusia itu mampu terpilih menjadi anggota DPRD tingkat provinsi. Ia pun “dinobatkan” sebagai anggota termuda.
            Diluar tugasnya sebagai anggota dewan, politisi Partai Golkar ini juga disibukkan dengan mengurus sebuah organisasi kepemudaan yakni Karang Taruna. Ia merupakan Ketua Karang Taruna Provinsi Riau. Ketika Daulat Riau menghubunginya, Faisal bahkan masih berada di kabupaten Siak untuk melakukan konsolidasi Karang Taruna di “Negeri Istana” tersebut. Nama karang taruna, tentunya sudah tidak terasa asing lagi di telinga kita. Tersebab, Karang Taruna merupakan wadah tempat berhimpunnya para pemuda yang keberadaannya sejak dulu telah menjangkau hingga ke desa-desa.
Dijelaskan Faisal, Karang Taruna juga merupakan mitra strategis pemerintah dalam proses-proses pembangunan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang pemerintahan desa, menempatkan Karang Taruna sebagai kelembagaan yang berada di desa atau kelurahan yang diharapkan mempunyai kepekaan sosial termasuk didalamnya memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam dirinya seperti masalah pengangguran, keagamaan, keolahragaan dan lain lain.
“Kita mengharapkan, generasi muda kita mampu untuk mengembangkan semangat berwirausaha dan membuka lapangan usaha. Pemuda kita mesti menjadi pemuda yang mandiri,” ujar pria kelahiran Indragiri Hilir ini. Untuk mendorong semangat kemandirian pemuda menurut Faisal, Karang Taruna mempunyai program andalan yakni KUBE (Kelompok Usaha Bersama). Menurut Faisal, pihaknya akan merealisasikan penyediaan bantuan usaha untuk Karang Taruna. “Untuk Kota Pekanbaru, pada tahun 2011 setiap kelurahan akan diberikan bantuan usaha,” jelas anggota DPRD Riau dapil Kota Pekanbaru ini dengan mantap.
Ditangan seorang Faisal, Karang Taruna menjelma menjadi organisasi yang besar dan diperhitungkan. Seakan-akan, Karang taruna kembali menemukan “ruh”-nya seperti pada masa-masa Orde Baru dulu. Tidak bisa dipungkiri, Karang Taruna memang begitu melekat keberadaannya ditengah-tengah pemuda di desa-desa ketika itu. Namun, seiring tumbangnya Soeharto, eksistensi Karang Taruna pun mulai meredup. Kini, Faisal mampu membangkitkan kembali semangat pemuda-pemuda di Riau untuk ber-Karang Taruna.
            Konsolidasi-konsolidasi organisasi pun terus digiatkan dan digalakkan. Dalam kerangka itu, ia menargetkan bahwa Karang Taruna akan terbentuk di 153 kecamatan dari 12 kabupaten/kota se-Riau. Dengan semakin besarnya jaringan Karang Taruna, ia juga mengharapkan pemerintah memberikan perhatian dan pembinaan-pembinaan. “Sehingga suatu saat nanti akan muncul kader-kader Karang Taruna yang berprestasi yang mempunyai aktivitas yang berguna bagi masyarakat, daerah, bangsa dan negara,” ujar tokoh muda “beringin” ini menutup perbincangan***


"Prioritaskan Kader, Tidak Menutup Kemungkinan Mendukung Orang Lain"



Citra yang melekat selama ini terhadap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partainya orang-orang tua, tampaknya akan segera berakhir. Terpilihnya Said Usman Abdullah menjadi Ketua DPC PPP Kota Pekanbaru periode 2011-2016 mengisyaratkan banyak perubahan terhadap partai berlambang ka’bah ini. Said Usman merupakan sosok yang representative mewakili generasi muda PPP Kota Pekanbaru. “PPP perlu penyegaran,” ujar anggota DPRD Kota Pekanbaru ini ketika menggelar konferensi pers di Rumah Makan Karya Moksima, Kamis (20/1). Bagaimanakah penyegaran yang dimaksud dan bagaimana sikap PPP terhadap pemilukada Kota Pekanbaru 2011 ini?


Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

            TONGKAT estafet kepemimpinan DPC PPP Kota Pekanbaru kini berada di tangan Said Usman Abdullah. Dalam musyawarah cabang (muscab) yang diselenggarakan di Hotel Mutiara Merdeka pada 17-18 Januari lalu, ia berhasil mengalahkan kandidat lain yakni ketua demisioner Afrizal Ds dengan perolehan 13:11 suara. Meski, sebenarnya tidak ada istilah paket pasangan dalam muscab ini, namun sejak awal Said Usman telah menggandeng Zulkarnain sebagai “tandem”nya untuk menduduki kursi sekretaris partai apabila terpilih. Keduanya merupakan generasi muda dan sama-sama anggota DPRD Kota Pekanbaru.
Banyak kalangan berpendapat, PPP akan memasuki babak baru. Persepsi yang selama ini terbangun bahwa regenerasi kepemimpinan di tubuh partai berjalan sangat lambat akhirnya terbantahkan. “PPP perlu penyegaran. Apalagi selama dalam perjalanan ini, PPP selalu diidentikkan dengan partainya orang-orang tua. Ke depan, kita ingin merubah image bahwa PPP bukan hanya partainya orang-orang tua. Sekarang anak muda juga ada di dalam PPP. Dan kita siap untuk memenangkan PPP dimasa yang akan datang”, jelas Said Usman dengan mantap. Namun demikian, kami juga menghargai kaum tua yang telah banyak memberikan pandangan-pandangan kepada kami. Karena kami berprinsip, tanpa mereka kami tidak akan ada disini untuk membangun dan membesarkan partai ini.
            Sebagai ketua yang baru, dirinya akan memprioritaskan untuk berkordinasi terlebih dahulu dengan DPAC-DPAC se- Kota Pekanbaru. Ia menginginkan periode sekarang harus lebih baik dari periode sebelumnya. “Sasaran kita tentu menuju ke bawah. Kita akan berkordinasi dulu, karena mereka ini kan ada yang baru dan ada yang melanjutkan. Jadi, kita akan mengadakan kordinasi dengan DPAC-DPAC se-Kota Pekanbaru. Kita akan membahas apa yang perlu dikerjakan dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Pekanbaru,” ujar putra pemilik Hotel Indrapura ini.
Dikatakannya, bahwa pihaknya bertekad akan bekerja keras guna menambah perolehan kursi PPP di DPRD Kota Pekanbaru. Ia menargetkan, pada pemilu 2014 nanti PPP akan memperoleh sebanyak 8 kursi. “Kita tidak muluk-muluklah. Cukup 8 kursi atau sekitar 100 persen dari sekarang”, tegasnya. Terkait sikap PPP yang sampai saat ini belum berani memutuskan pencalonan walikota dan wakil walikota Pekanbaru, Said menjelaskan bahwa selama ini sebenarnya PPP sudah membuat desk pilkada, namun karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi, tentunya kita akan lihat kembali.
Tetapi Said tidak menampik, kemungkinan calon yang akan diajukan dari kadernya sendiri. “Kita tentu akan mengutamakan kader. Oleh karena itu kita akan menginventarisir kader-kader yang layak untuk dicalonkan. Kalau ada peluang kenapa tidak?” jelas adik kandung calon Bupati Siak Said Muhammad ini. Namun begitu, tidak menutup kemungkinan juga PPP akan mendukung orang lain. Asal, orang tersebut mempunyai prinsip dan program serta kesamaan visi dengan PPP. Tentunya, kita berharap hal ini akan bermanfaat bagi PPP dan bermanfaat bagi Kota Pekanbaru. Sehingga nantinya tidak akan ada sikap saling salah-menyalahkan.***



Perempuan Mampu Menjadi Pemimpin


           

John Naisbitt dalam buku Megatrends 2000 menyebut ada sepuluh trend yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam millennium ini. Salah satunya adalah “Dasawarsa dalam Kepemimpinan”. Diperkirakan, kepemimpinan perempuan ke depan akan semakin menguat. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya “kaum hawa” yang duduk dalam posisi-posisi strategis baik di legislative, eksekutif maupun sector professional. Keterlibatan kaum perempuan dalam dunia politik juga dirasakan semakin menambah dinamika kehidupan politik. Menyadari hal ini, kalangan partai-partai politik pun, tidak luput memberikan wadah bagi kaum perempuan yakni melalui pembentukan sayap partai. Partai Demokrat, sebagai partai modern juga memiliki organisasi sayap bagi kalangan perempuan yakni Perempuan Demokrat Republik Indonesia (PDRI). Sabtu pagi (19/2) bertempat di Hotel Premier Pekanbaru dideklasikanlah PDRI Provinsi Riau yang diketuai oleh Rita Sahara, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Riau.Bagaimanakah sosok dan pemikirannya?

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru


            KIBARAN bendera “biru” Partai Demokrat menghiasi ruas jalan Jendral Sudirman, Sabtu pecan lalu. Sejak tampuk pimpinan Partai Demokrat Riau dipegang oleh HR Mambang Mit, Demokrat terus berbenah. HR Mambang Mit yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Riau memang cukup membuat antusiasme kader-kader Demokrat Riau semakin tinggi. Kibaran bendera yang berada di jalan-jalan itu ternyata  tidak hanya bendera partai saja, tetapi masih ada satu lagi bendera yang kelihatannya masih asing di pelupuk mata kita. Warnanya biru identik dengan Demokrat, namun logonya berbentuk semacam bunga. Bendera tersebut adalah bendera organisasi sayap perempuan partai besutan “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono” yakni Perempuan Demokrat Republik Indonesia (PDRI). Pagi itu adalah acara pelantikan PDRI Provinsi Riau yang diketuai oleh Rita Sahara, salah seorang anggota DPRD Provinsi Riau.
            Suasana Ballroom Hotel Premier yang belum lama ini beroperasi pun terasa begitu meriah. Ratusan kader Partai Demokrat Riau tampak hadir. Tak terkecuali Ketua DPD Demokrat Riau, HR Mambang Mit, Sekretaris DPD Riau Koko Iskandar, dan Anggota DPR RI dari Partai Demokrat daerah pemilihan Riau, M. Nasir. Rita Sahara, secara resmi dilantik oleh Ketua Umum DPP PDRI, Ibu Titiek Budhisantoso. Titiek Budisantoso merupakan istri mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat pertama, Subur Budhisantoso.
            “Dalam perkembangan peradaban dunia saat ini, perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga. Tetapi perempuan juga mampu menjadi  pemimpin baik didalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara,” ujar Rita Sahara sesaat setelah pelantikan dirinya sebagai Ketua DPD PDRI Provinsi Riau. Menurut anggota DPRD Riau daerah pemilihan Inhil ini, PDRI merupakan bagian tidak terpisahkan dari Partai Demokrat yang bertujuan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat yang demokratis, sejahtera, aman dan damai. Terkait kondisi kekinian menyangkut kaum perempuan, Rita Sahara menyatakan bahwa meskipun dominant dalam jumlah, namun dalam realitanya kaum perempuan belum memaksimalkan perannya di tengah-tengah masyarakat.
            “Fakta membuktikan bahwa perempuan masih menjadi objek dalam rumah tangga. Perdagangan perempuan (trafficking) masih marak terjadi dan berbagai masalah lain yang menyangkut kaum perempuan. Itulah potret buram perempuan di Indonesia,” jelasnya. Hal tersebut kata Ketua Fraksi Demokrat DPRD Riau itu, adalah suatu hal yang masih terus diperjuangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengingat presentasinya merupakan dominant di Indonesia.
            Menyinggung tentang organisasi, Rita mengatakan bahwa Visi PDRI adalah menegakkan keadilan, demokrasi dan kesejahteraan dengan memperkuat partisipasi perempuan. Dijelaskan, ada tiga azas yang menjadi pola piker perjuangan PDRI yakni, pertama: Non Diskriminatif, PDRI menyadari benar arti penting keragaman budaya, etnis, adapt istiadat dan budaya bangsa Indonesia. Kedua, Nasionalis, PDRI merupakan organisasi yang sangat menjunjung tinggi semangat cinta tanah air, bangsa dan Negara serta siap untuk membela bangsa dan Negara. Ketiga, Religius, PDRI berpandangan aspek religius merupakan aspek yang sangat penting yang mengatur sendi-sendi dalam kehidupan.
            Keberadaan perempuan dalam dunia politik memang tidak dinafikkan lagi. Hal ini terjadi pasca reformasi dimana terjadi perubahan yang mendasar dalam peraturan perundang-undangan. Kran partisipasi perempuan dalam pemilihan umum (pemilu) untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD  dan DPD terbuka lebar. Bahkan, pada pemilu 2009 yang lalu, menurut UU Pemilu, partai-partai politik wajib memasukkan kuota 30 persen perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) anggota legislative. Selamat buat Ibu Rita Sahara, Ketua PDRI Provinsi Riau….

Jumat, 18 Maret 2011

Saatnya yang Muda Memikirkan Pelalawan



Tak kurang dua pekan lagi, Kabupaten Pelalawan akan menggelar pemilihan Bupati dan Wakil Bupati periode 2011-2016. Hingga tanggal 12 Februari ini, tahapan pemilukada memasuki masa kampanye. Empat hari setelah itu,adalah masa tenang. Puncaknya, permainan akhir akan ditentukan pada hari Kamis, 16 Februari. Ada tiga kandidat yang akan memperebutkan “singgasana” Pelalawan Satu. Ketiga tokoh pasangan calon yang berkompetisi merupakan putra-putra terbaik negeri seiya sekata. “Kabupaten Pelalawan pernah menjadi kabupaten terbaik di Riau dan terbaik ke 3 untuk skala nasional,” ujar pasangan T.Khalil Ja’afar dan Husni Thamrin saat kampanye di Kecamatan Sie Kijang, pada Jumat (4/2). Ada sisi yang  menarik dari pasangan bernomor urut 2 ini yakni munculnya calon wakil bupati dari kalangan generasi muda. Meski masih sangat muda, namun sarat dengan berpengalaman. Sosok itu adalah H. Husni Thamrin. Siapakah dia dan bagaimanakah kiprahnya di Kabupaten Pelalawan?

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Belasan mobil tampak melakukan konvoi beriringan dengan rapi di ruas jalan lintas timur Kecamatan Sei Kijang. Sebuah mobil ford ranger lengkap dengan foreder tampak berada dibarisan paling depan. Kondisi mobil itu telah berbeda dari aslinya. Cat mobil diganti berwarna hijau muda, dengan dihiasi berbagai tulisan dan logo. Tepat dibelakangnya terdapat dua buah mobil mewah berbody besar, jenis Lexus dan Toyota Landcruiser. Masing-masing  bernomor plat BM 1158 CA dan BM 2 CA. Dibelakangnya, terdapat  puluhan mobil dengan jenis dan tipe yang berbeda seperti Terano, CRV, Honda Jazz hingga Innova  dan Avanza.
Yang cukup menarik adalah dua mobil mewah yang berada di urutan depan. Dari atas atap mobil yang bernilai milyaran itu, terbuka ruang yang sedikit sempit, hanya cukup untuk satu orang saja. Dari celah ruang di atap mobil itu, muncul sosok seorang melambai-lambaikan tangannya sepanjang jalan. Kedua tokoh itu seakan hendak menyapa masyarakat yang ada di sepanjang jalan. Konvoi itu adalah rombongan calon bupati/wakil bupati yang lebih dipopularkan dengan  nama BERKAT (Bersama Khalil-Thamrin). Konvoi berakhir di sebuah lapangan yang berjarak sekitar 100 meter dari jalan Lintas Timur. Hari itu merupakan jadwal kampanye “berkat” di Sei Kijang.
Alunan musik telah menggema. Ribuan pendukung pun telah “menghijaukan” seisi lapangan menyambut calon pemimpinnya. Mengenakan jas berwarna merah dan bermotif garis-garis, Drs. H. T. Khalil Ja’far dan H. Husni Thamrin tampak begitu gagah dan menawan. Begitu turun dari mobil langsung dielu-elukan pendukungnya menuju ke panggung. Pasangan ini disebut-sebut banyak kalangan merupakan pasangan yang ideal untuk kemajuan Pelalawan ke depan. Mewakili unsur generasi tua dan generasi muda serta memadukan antara birokrat dan politisi. Hal ini jelas, sebuah keunggulan tersendiri dibandingkan dengan dua kandidat yang lainnya.
Munculnya nama H. Husni Thamrin yang menjadi calon wakil bupati mendampingi Khalil Jaafar merupakan bukti nyata bahwa generasi muda Pelalawan telah mampu menjadi pemimpin daerah. Husni Thamrin, diyakini para pengamat politik lokal akan menjadi “magnet” politik dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemilih pemula yang jumlahnya cukup signifikan di kabupaten bekas Kerajaan Pelalawan ini. Dalam orasi politiknya, Thamrin mengatakan bahwa 3 (tiga) tahun yang lalu, Kabupaten Pelalawan di bawah kepemimpinan bupati Azmun Ja’afar, mendapat prestasi sebagai kabupaten terbaik di Provinsi Riau dan terbaik ke-3 se Indonesia. Namun saat ini, Pelalawan kembali terpuruk dan tertinggal dengan daerah-daerah lainnya di Riau. Azmun, merupakan adik kandung T. Khalil Ja’afar, sang calon bupati.
Melihat kondisi 3 tahun terakhir Pelalawan yang jauh tertinggal, darah muda Thamrin pun bangkit. Ia mengecam cukup keras terhadap kinerja pemerintah saat ini. “Apa yang kita lihat 3 tahun ini, APBD Pelalawan yang semula 1,3 triliun turun menjadi 1 triliun. Itu artinya pemimpin kita tidak mengerti dalam mengelola pemerintahan. Sudah saatnya Pelalawan dipimpin oleh orang yang benar-benar mengerti tentang pemerintahan. Pak Khalil merupakan sosok birokrat senior yang telah lebih dari 32 tahun mengabdikan hidupnya di pemerintahan. Beliau sudah sangat berpengalaman karena memulai karir dari bawah mulai dari menjadi kepala desa, camat, kepala dinas, hingga staf ahli Gubernur Riau,” ujar Thamrin dengan berapi-api sambil memperkenalkan pasangannya itu kepada ribuan pendukungnya.
Kepada kalangan generasi muda, Thamrin juga mengatakan bahwa sudah saatnya yang muda untuk memikirkan kabupaten hasil pemekaran Kampar ini. “Sudah saatnya yang muda memikirkan Pelalawan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi waktunya?,” jelas ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) Pelalawan ini Berkali-kali, ia menyebutkan kata-kata itu dalam orasinya. Tentunya, ia hendak menyampaikan pesan dan motivasi kepada anak-anak muda Pelalawan untuk berfikir dan berbuat demi kemajuan kampung halaman. Kiprah pria kelahiran Sorek Satu, 23 Desember 1979 ini di panggung politik dan organisasi kepemudaan tidak diragukan lagi. Meski usianya baru menginjak 31 tahun, namun Husni Thamrin tercatat telah dua periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Pelalawan (2004-2009, 2009-2014). Sebuah prestasi politik yang sungguh sangat luar biasa bagi seorang anak muda.
Di organisasi kepemudaan, saat ini ia juga menjadi Ketua DPD KNPI Kabupaten Pelalawan (2007-2011). Tidak hanya itu saja, Thamrin juga merupakan Ketua SPSI Kabupaten Pelalawan, sebuah organisasi tempat berhimpunnya para pekerja dan buruh di tanah air. Selamat dan sukses Bung Thamrin***

"Kalau Dipaksakan Akan Bertentangan Dengan UUD"

KEMENTRIAN Dalam Negeri (Kemendagri) berupaya memperketat syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Melalui revisi UU No 32/2004, Kemendagri akan melarang kerabat terdekat seperti anak, saudara kandung atau istri kepala daerah yang sedang menjabat untuk ikut Pemilukada. Usulan ini akan diperjuangkan Kemendagri untuk disahkan menjadi UU. Karena  dalam UU No 32/2004 saat ini belum diatur, sehingga membuka peluang terbentuknya “dinasti politik” berdasarkan kekeluargaan atau kekerabatan yang jelas akan menodai makna demokrasi. Publik merespon dengan beragam pendapat. Ada yang menolak dan tidak sedikit pula yang mendukung. Untuk mengetahui lebih jauh persoalan ini, berikut petikan wawancara Daulat Riau, Kamis, 22/2 dengan Dodi Haryono, Shi, SH, MH, pakar hukum tata Negara dari Universitas Riau…

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Bagaimana Anda memandang revisi UU No 32/2004 yang diajukan Kemendagri yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk ikut serta dalam pemilukada?
Berbicara dalam konteks politik, mungkin dari sisi etika politik bisa dipahami. Maksud untuk bagaimana terdistribusikannya masalah kepala daerah tidak hanya berdasarkan satu “trah”. Karena ada juga yang merasa bahwa “itu-itu saja” dari tahun ke tahun apakah kekuasaan itu dilanjutkan pada istri, anak maupun kerabat dekat, sehingga dianggap sepertinya kurang pantas. Tetapi persoalannya adalah ketika ditinjau dari aspek hukum. Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah hak semua orang. Jadi, apakah kita mau jadi kepala daerah atau yang lainnya pada prinsipnya sah-sah saja. Dan itu merupakan hak konstitusional yang dilindungi UUD 1945.

Apakah hak ini bisa dibatasi?
            Dalam undang-undang dasar, pembatasan sangat dimungkinkan. Tetapi pembatasan dilakukan dalam konteks untuk menegakkan, menjaga kebebasan hak orang lain. Dibatasi artinya adalah ada hak masyarakat untuk berpartisipasi. Secara umum, saya tidak melihat apakah anak beranak, sepupu dan segala macamnya. Namun pembatasan itu ada alasan-alasannya. Ada 3 alasan mendasar, yakni pertama, untuk menjamin kebebasan hak orang lain. Kedua, untuk menjamin hak-hak azasi manusia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan prinsip-prinsip agama. Ketiga, untuk menjamin kepentingan umum dan keamanan negara.

Bukankah revisi UU 32/2004 merupakan upaya pembatasan hak dimaksud?
            Misalnya, ketika seseorang yang ada hubungan kekerabatan dengan kepala daerah itu akan mencalonkan diri lalu dilarang, apakah itu telah sesuai dengan prinsip-prinsip dimungkinkannya pembatasan itu? Menurut saya tidak. Umpamanya apakah nantinya dengan adanya hubungan kekerabatan dengan kepala daerah, kemudian mencalonkan diri, akan berdampak pada menjadi terganggunya keamanan negara. Saya rasa tidak. Kalau seandainya malah dipaksakan revisi ini, malah justru berpotensi akan bertentangan dengan UUD.

Sebagian kalangan berpendapat apabila usulan Kemendagri itu disahkan, maka merupakan pelanggaran HAM. Bagaimana pendapat Anda?
            Saya melihat dalam kasus revisi UU No 32/2004 yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri, saya rasa itu tidak merupakan alasan yang tepat untuk membatasi hak orang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Justru kalau hal ini dipaksakan, malah akan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sesuai dengan hak-hak azasi manusia (HAM).

Sebagian kalangan yang lain juga ada yang menilai, kalau hal ini dibiarkan akan menodai demokrasi. Bagaimana menurut Anda?
            Demokrasi pada prinsipnya adalah persamaan setiap orang di depan hukum dan partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan. Kalau kita lihat, katakanlah seseorang yang memiliki hubungan famili dengan salah seorang kepala daerah akan mencalonkan. Dimana aspek yang melanggar partisipasi masyarakat? Justru kalau dibatasi, dari sisi demokrasi, justru menghalangi partisipasi orang, menghalangi orang untuk diperlakukan sama di depan hukum. Tapi, masyarakat mungkin hanya melihat dari sisi praktisnya selama ini. Agak geram memang, kita melihat trend seperti ini. Kadang-kadang, calon yang diusung tidak punya kemampuan, tetapi karena mentang-mentang suaminya kepala daerah lalu dipaksakan. Kita tidak tahu, apakah ada bargaining politik dibelakangnya. Padahal yang kita pertaruhkan adalah nasib kepentingan orang banyak.

Jadi, bagaimana sebaiknya?
            Tidak semua harus dipaksakan dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi sekarang ini bukan seperti jaman dulu. Sekarang ini kita harus menghargai masyarakat kita. Bahwa masyarakat kita tidak lagi sebodoh yang kita bayangkan. Masyarakat sudah cerdas dalam mempelajari segala sesuatu. Biarkan saja masyarakat yang akan menseleksi secara alamiah.

Jhoni Irwan, adik ipar Gubernur Riau yang kalah di Rohul, bisa dijadikan contoh misalnya?
            Ya, kan kalah. Jadi sebenarnya kan masyarakat sudah tahu. Tetapi manatahu ada kerabat kepala daerah yang baik, mungkin pola manajerialnya juga disukai masyarakat. Namun karena adanya larangan dalam revisi tersebut jadi tidak disukai masyarakat. Seandainya kemudian ini dikatakan akan membangun trah politik, saya rasa kita kembalikan lagi pada kehendak masyarakat. Kalau dia dipilih oleh masyarakat, pasti masyarakat memandang bahwa ia tidak akan berbuat seperti itu. Cuma secara etika politik saja yang kita khawatirkan. Apakah benar-benar pertimbangannya demi kepentingan masyarakat. Atau cuma sekedar memperjuangkan simbol-simbol trah tersebut.

Septina Primawati Rusli, istri Gubernur Riau akan maju sebagai calon walikota. Demikian halnya Evi Mairoza dikabarkan akan ikut. Bagaimana pandangan Anda?
            Itu bagian daripada haknya. Silakan saja. Yang perlu kita ingatkan adalah bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidak cukup dengan figur suaminya yang kepala daerah. Ia harus punya leadership yang baik. Karena yang akan mengambil keputusan adalah dia sendiri. Leadhersipnya ada pada dia. Jadi bukan hanya menjadi bayang-bayang saja. Saya yakin, masyarakat akan cerdas menilai itu. Apakah Septina atau Evi Mairoza. Masyarakat bisa menilainya. Tapi kita hanya berharap bahwa partai politik juga mempertimbangkan itu. Bukan pada kalkulasi-kalkulasi yang lain. Kadang-kadang kita lepas dari pakem seperti itu karena mungkin ada bargaining politik dibelakang itu.

Tetapi, majunya kerabat kepala daerah sebagai calon  kepala daerah, apakah tidak bisa disebut sebagai KKN?
            Kalau berbicara secara hukum, kapan seseorang dikatakan melakukan tindak pidana korupsi itu kan sudah ada aturannya. Kalau itu yang dikhawatirkan. Jadi, siapapun dia kalau melakukan tindak pidana KKN itu bisa ditindak. Misalnya kepala daerah itu melakukan alur kekuasaannya. Kalau dia menggunakan fasilitas Negara, memberikan bantuan-bantuan dan lain sebagainya. Kita sudah mempunyai aturan tentang Pemilu dan juga Pemilukada. Sebenarnya hal ini sudah “ter-rem” disitu. Seandainya peraturan itu benar-benar dilaksanakan secara konsisten.***



Permaisuri-Permaisuri Calon Pewaris Tahta

Coffe morning  Gubernur Riau dengan kalangan wartawan di kediaman Jalan Diponegoro, 7 April tahun lalu berakhir dengan satu kesimpulan penting. Ibu Septina Primawati Rusli, istri Gubernur Riau HM Rusli Zainal “mendeklarasikan”  maju sebagai calon Walikota Pekanbaru 2011-2016. ''Atas restu Gubernur Riau, dan tak ada larangan dalam aturan, serta banyaknya dukungan masyarakat sejak tahun 2009, maka dengan mengucap Bismillah, saya siap lahir bathin untuk ikut pilkada di Pekanbaru. Saya mencoba siap memenuhi harapan masyarakat,'' ujar Septina ketika itu..Seakan tak mau ketinggalan, meski masih terkesan malu-malu dan belum mendeklarasikan, Ibu Evi Meiroza Herman, istri Walikota Herman Abdullah pun dikabarkan akan ikut berkompetisi.  “Permaisuri-permaisuri” itu pun akan menjadi pewaris mahkota...

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Inspirasi itu datang dari negeri penghasil minyak, Bontang Kalimantan Timur. Kota yang cukup terkenal karena klub sepakbolanya yang terbilang hebat di tanah air, PKT Bontang menjadi acuan Gubernur Flamboyan dari Riau ini. Disana, kolega sang Gubernur, tak lain adalah Walikota Bontang. Istri walikota menjadi Ketua DPRD dan bahkan menjadi kandidat terkuat calon walikota menggantikan suaminya yang sudah dua periode menjabat. Dari Bontang, Gubernur membawa kita terbang ke sebuah kota di Jawa Timur yang sangat terkenal sebagai gudangnya rokok kretek. Itulah kota Kediri, sekaligus wilayah bekas kerajaan Kediri tempo dulu. Disana, kata gubernur ada dua istri mantan Bupati Kediri, yang sama-sama maju menjadi calon Bupati menggantikan suaminya.
            Dua kota itulah yang dicontohkan Gubernur Riau HM Rusli Zainal ketika mendeklarasikan secara resmi pencalonan istrinya, Septina Primawati untuk maju menjadi walikota Pekanbaru. Lebih elegan lagi, kalau Gubernur juga merujuk pada sosok Ani Yudhoyono, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit halaman 479, Ani Yudhoyono menulis “Jika SBY sudah tidak jadi presiden”, sambung Ani, “maka kedudukan terhormat buatku adalah tetap menjadi Nyonya SBY, bukan menjadi presiden”. Hal ini mengandung makna bahwa ia tidak mau untuk dicalonkan menjadi Presiden pasca suaminya habis masa jabatan untuk kedua kalinya. Meski orang-orang disekelilingnya terus mendorong untuk maju, namun Ani tetap saja menolak.
“Mau menjadi kepala daerah, atau apapun, pada prinsipnya sah-sah saja. Itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD,” ujar Dodi Haryono akademisi dari Universitas Riau. Semua orang, kata Dodi mempunyai hak yang sama untuk ikut berperanserta dalam pemerintahan. Munculnya para istri maupun kerabat kepala daerah yang lain untuk ikut mencalonkan menjadi kepala daerah, cukup menjadi kerisauan tersendiri bagi Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Kemendagri sedang mengusulkan revisi UU No 32/2004 yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri dalam pemilukada. Karena dalam UU No 32/2004 saat ini, belum diatur sehingga membuka peluang terbentuknya politik kekerabatan (dinasti politik).
“Kalau kita lihat fenomena yang ada di lapangan, usulan Kemendagri itu rasional atau masuk akal. Karena apa? Karena memang ada kecenderungan, misalnya seorang Bupati yang sudah dua periode, karena menurut ketentuan tidak boleh mencalonkan kembali, kemudian ia memberikan pada salah satu keluarganya. Dan ini di beberapa daerah fenomenanya seperti itu, bahkan ada yang jadi,” ujar Azam Awang, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Pasca Sarjana UIR. Fenomena ini, menurut Azam Awang secara demokratis itu ok, tidak ada persoalan. Karena secara demokrasi. Siapapun punya peluang dan hak yang sama. Tetapi trend ini, seolah-olah adalah tren melanjutkan dan melanggengkan rezim kekuasaan.
Menurut Azam Awang, tradisi ini memang perlu diantisipasi. “Kalaupun dia akan maju, nanti jangan terkena pada saat suaminya selesai periode kedua, kemudian melanjutkan periode pada kerabatnya itu,” terang Azam. Karena, tambah Azam jangan sampai ada kesan melanjutkan rezin politik atau pun membentuk dinasti politik, turun temurun dan berkepanjangan. Apalagi kalau kita kaitkan dengan dunia Internasional. Sekarang masyarakat Internasional sudah menyadari kalau kekuasaan yang turun-temurun dan berkepanjangan sesuai dengan teori Lord Action, kekuasaan akan cenderung disalahgunakan.
Dalam waktu yang tidak lama lagi, Kota Pekanbaru akan mengadakan Pemilukada. Dua kutub besar akan bertemu. Jika benar, Evi Meiroza akan maju, ia mewakili kutub penguasa Kota Pekanbaru. Satu kutub lagi adalah penguasa provinsi Riau, istri Gubernur Riau Septina Primawati. Langkah Evi memang belum “selincah” Septina. Septina, sejak tahun lalu telah bergerilya dari segala penjuru mata angin. Septina menembus masuk ke tengah-tengah masyarakat melalui berbagai celah. Kini, ia pun tercatat mengomandoi sekitar delapan organisasi besar, yang secara “terselubung” terus melakukan aktivitas dan pada intinya adalah mensosialisasikan dirinya. Ke delapan organisasi tersebut antara lain Pramuka, BKOW, BKMT, Dekranasda, PKK, Pusdatin, Puanri dan yang teranyar adalah Dekopin Kota Pekanbaru. Dalam organisasi tersebut, Septina duduk sebagai ketua umum maupun dewan Pembina. Diluar itu, masih ada kekuatan-kekuatan lain yang juga ia galang.
Saat ini bahkan wajah-wajah Septina telah bertebaran diberbagai jalan-jalan se-antero Kota Pekanbaru. Baliho baik berukuran sedang maupun besar menghiasi wajah Kota Bertuah. Septina memang turun tidak main-main, ia sangat powerfull. Terlebih dukungan yang teramat kuat juga datang dari sang suami, Gubernur Riau HM Rusli Zainal.Tentang popularitas, figure Septina cukup dikenal. Survei internal yang dilakukan DPD PKS tahun lalu, menyebutkan hanya ada empat calon yang layak maju pada pemilukada Kota Pekanbaru. Keempat calon tersebut adalah Septina Primawati, Erizal Muluk, dan Ayat Cahyadi. Sedangkan nama Evi Meiroza, dalam survey tersebut lebih diposisikan sebagai wakil walikota bersama Dian Sukheri, dan Edi Satria. Menurut survey tersebut, Septina diunggulkan karena merupakan istri dari gubernur Riau.
Azam Awang kembali mengatakan bahwa masuknya kerabat kepala daerah dalam bursa pencalonan, paling tidak akan mengakibatkan suatu kondisi demokrasi yang kurang kondusif. Disinggung apakah tren dinasti politik seperti ini erat kaitanya dengan KKN, Azam mengatakan bahwa sudah terlalu dekat dengan KKN. “Kalau kita lihat dari segi emosional itu sah-sah saja dan wajar. Biasanya yang kita dorong atau orbitkan, memang orang terdekat dengan kita atau orang yang kenal dengan kita. Tapi dengan adanya tren seperti itu, saya pikir terlalu dekat dengan KKN,” terang Azam Awang. Indikasinya, kata pria kelahiran Pulau Lingga, disamping melanjutkan kekuasaannya, tetapi juga dia mengamankan kebijakan yang sudah diambil sebelumnya, termasuk kebijakan-kebijakan yang “menyimpang” dan keliru. “Jadi sangat dekat sekali dengan KKN, kalau tidak boleh kita katakan KKN,” tegasnya.
Bagaimanakah pertarungan dua “permaisuri” berebut mahkota Pekanbaru Satu ini? Kita lihat hasilnya pada bulan April mendatang.***



"Trah" Ismail Suko Berburu Tahta



“Trah” tokoh heroik Riau, Ismail Suko sedang berada pada puncaknya. Kedua putra putri, mantan sekwan Riau paling bersejarah itu berpacu kencang berburu “tahta”. Sang adik, Jhoni Irwan telah bertanding lebih dulu pada 16 Februari lalu. Medan pertarungan cukup keras di negeri seribu suluk. Namun sayangnya, ia kalah kencang, tersalip lawan-lawannya dan finish pada urutan ke-4. Harapan kini ada pada sang kakak, Septina Primawati Rusli. Kini,“permaisuri” sang gubernur masih berusaha membeli tiket masuk. Dibantu kekuatan powerfull sang suami, tampaknya ia akan melaju di jalan tol. “PPP sini cincai-cincai saja. Saya akan memberikan lampu hijau pada PPP untuk mendukung gubernur," ujar Suryadharma Ali ketika membuka Musyawarah Wilayah PPP Provinsi Riau, Rabu (23/2). Lampu hijau yang dimaksud tidak lain adalah dukungan PPP untuk pencalonan Septina. Jika itu ditepati, maka kini tinggal menunggu kabar dari“beringin” yang masih saja rimbun dan bintang di langit biru….  

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru


Dies Natalis Universitas Riau 1980 menyimpan kenangan tersendiri bagi Rusli Zainal dan Septina Primawati. Meski masih menyandang status mahasiswa baru, namun Septina telah terlibat aktif dalam kegiatan kampus. Disamping tampil menari pada acara Dies Natalis itu, Septina juga kebagian tugas sebagai penjaga tamu. Rusli, yang kala itu sedang “naik daun” sebagai qori nasional juga mendapat tugas yang sama. Dari situlah cerita bermula hingga keduanya ditakdirkan menjadi sepasang mempelai pada 3 Mei 1985.
Belum genap seumur jagung usia perkawinan keduanya, tragedi politik “terhebat” di bumi lancing kuning yang melibatkan keluarganya meledak. Getarannya tidak hanya mengguncang Republik Indonesia, tapi juga menggema ke penjuru dunia. Ismail Suko, ayah Septina yang juga mertua Rusli menjadi tokoh yang paling dicari “rezim” Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Soeharto. Sebab, tanpa diduga, dalam pemilihan Gubernur Riau 2 September 1985, nama Ismail Suko melejit menjadi pemenang mengalahkan calon yang direstui “cendana” yakni Imam Munandar. Sebuah peristiwa yang tidak pernah terjadi di era Orde Baru, calon pendamping mengalahkan “calon jadi”. Namun, kemenangan Ismail Suko tidak bertahan lama. Dalam hitungan hari, Sang Presiden melalui Ketua Umum DPP Golkar Soedharmono, berhasil “menjinakkan” Ismail Suko hanya dalam secarik kertas. Ismail Suko pun akhirnya urung dilantik menjadi Gubernur Riau. Sang menantu, Rusli Zainal ketika itu merupakan seorang pemuda yang baru berusia 28 tahun. Namun, ia telah menyaksikan sejarah “besar” terjadi yang melibatkan keluarganya.
“Trah” Ismail Suko dikemudian hari ternyata mengalir pada sang menantu. Tidak lebih dari dua dasawarsa, pada tahun 2003 Ismail Suko bisa duduk dengan tenang dan bangga melihat menantunya dilantik menjadi Gubernur Riau. Sesuatu yang sebenarnya sudah di depan pelupuk matanya pada 2 September 1985 silam.
GUBERNUR RIAU HM Rusli Zainal hingga kini tercatat telah menjabat sebagai gubernur kali kedua. Pada pemilihan gubernur mendatang, sesuai ketentuan UU No 32 Tahun 2004, ia tidak diperbolehkan untuk mencalonkan kembali. Namun, ia sudah memasang kuda-kudanya untuk berlari kencang dan bermain di wilayah yang lebih luas yakni tingkat nasional. Jabatan Ketua Umum DPP SOKSI dan Ketua DPP Partai Golkar telah berada di telapak tangannya. Tetapi, sebagai politisi ulung, ia tidak pergi meninggalkan begitu saja, bumi melayu. Diam-diam, ia pun telah “mengelus-elus” calon pewaris “tahtanya.” Pada awalnya, ia mengelus Firdaus, MT Kepala Dinas PU Riau. Firdaus yang merasa sebagai “putra mahkota” pun langsung tancap gas. Ia diproyeksikan Rusli untuk menjadi walikota Pekanbaru. Berbagai sosialisasi sejak awal pun telah dilakukan. Pendekatan-pendekatan pada masyarakat dan tokoh-tokohnya pun telah pula dijalankan. Tak kurang, gelar kehormatan masyarakat Jawa pun telah ia dapatkan. Ibarat pepatah, Firdaus telah menanam benih, tetapi akankah ia memetik hasilnya?
Hingga kemudian, arah politik berubah. Sang Gubernur putar haluan. Ternyata, pada injuri time, Rusli Zainal justru malah memunculkan figur baru yang tak lain adalah istrinya sendiri, Septina Primawati. “Trah” langsung Ismail Suko ini pun di dukung penuh keluarga. Toke-toke yang selama ini merapat pada Firdaus, kini pun “banting stir”. Menurut sumber Daulat Riau, mereka bahkan menasehati Firdaus agar menerima pinangan menjadi orang nomor dua saja. “Jangan melawan, tidak ada gunanya,” ujar mereka seperti ditirukan sumber Daulat Riau. Banyak kalangan pun menuding Rusli Zainal hendak membangun dinasti politik “Itu bagian daripada haknya. Silakan saja. Yang perlu kita ingatkan adalah bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidak cukup dengan figur suaminya yang kepala daerah. Ia harus punya leadership yang baik. Karena yang akan mengambil keputusan adalah dia sendiri. Leadhersipnya ada pada dia. Jadi bukan hanya menjadi bayang-bayang saja,” ujar Dodi Haryono, SHi, SH, MH pakar hukum tata negara dari Universitas Riau kepada Daulat Riau, Kamis lalu. Tren kecenderungan dinasti politik yang dilakukan oleh kepala daerah memang belakangan marak pasca reformasi hampir di seluruh Indonesia. 
Menjamurnya dinasti politik di berbagai daerah membuat Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) gerah. Saat ini, bahkan Kemendagri sedang mangajukan usul revisi UU No 32/2004 yang akan memperketat persyaratan calon kepala daerah. Kemendagri akan melarang majunya kerabat terdekat seperti anak, saudara kandung atau istri kepala daerah yang sedang menjabat untuk ikut Pemilukada. Usulan ini akan diperjuangkan Kemendagri untuk segera disahkan menjadi undang-undang. Karena dalam UU No 32/2004 saat ini, belum diatur sehingga membuka peluang terbentuknya dinasti politik berdasar kekeluargaan dan kekerabatan yang akan menodai makna demokrasi. Seandainya usul Kemendagri ini lolos, maka secara otomatis langkah politik Rusli Zainal yang terkesan ingin membangun “dinasti politik” dengan mencalonkan istrinya menjadi walikota Pekanbaru akan kandas.
Namun, bergulirnya wacana pembatasan ini mengundang beragam pendapat di tengah-tengah masyarakat. "Pemerintah terlalu reaktif merevisi undang undang tersebut. Bila itu diluluskan, pembatasan tersebut inkonstitusional dan rentan untuk dibatalkan lewat jalur Makhkamah Konstitusi karena hak setiap warna negara untuk memilih dan dipilih," kata Husnu Abadi, pakar hukum dari Universitas Islam Riau (UIR). Lebih lanjut, Husnu yang ketika dihubungi Daulat Riau, Kamis lalu (2/2) sedang berada di India menghadiri seminar tentang HAM di Delhi University mengatakan bahwa pemerintah seharusnya lebih konsentrasi memberikan pendidikan politik ke masyarakat ketimbang membatasi dengan revisi tadi. Ketika masyarakat cerdas secara politik, pasti bisa menentukan secara rasional pemimpinnya yang kredibel bukan karena kedekatan dengan incumbent. "Rakyat bisa menghalangi dinasti politik kepemimpinan ini lewat pemilukada. Kalau memang tidak berkompeten jangan dipilih. Tapi jangan dibatasi rakyat untuk mencalonkan diri hanya karena statusnya," ujarnya.
Senada dengan Husnu Abadi, menanggapi atas usul revisi UU 32/2004 yang melarang kerabat kepala daerah untuk ikut dalam pemilukada, Dodi Haryono mengatakan bahwa dari sisi etika politik bisa dipahami. Maksud untuk bagaimana terdistribusikannya masalah kepala daerah tidak hanya berdasarkan satu “trah”. Karena ada juga yang merasa bahwa “itu-itu saja” dari tahun ke tahun, apakah kekuasaan itu dilanjutkan pada istri, anak maupun kerabat dekat, sehingga dianggap sepertinya kurang pantas. Namun, persoalannya kata alumni UII Yogyakarta ini adalah ketika ditinjau dari aspek hukum. Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah hak semua orang. Jadi, apakah kita mau menjadi kepala daerah atau yang lainnya pada prinsipnya sah-sah saja. Dan itu merupakan hak konstitusional yang dilindungi UUD 1945.
“Saya melihat dalam kasus revisi UU No 32/2004 yang akan melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri dalam pemilukada, saya rasa itu tidak merupakan alasan yang tepat untuk membatasi hak orang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Justru kalau hal ini dipaksakan, malah akan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sesuai dengan hak-hak azasi manusia (HAM),” tegas Dodi Haryono yang juga menjabat sebagai pembantu dekan II Fakultas Hukum UR ini.***


Logika Politik Dibangun Sangat Pragmatis



Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

PEMILUKADA Kota Pekanbaru sudah diambang pintu. Perebutan kursi orang nomor satu di kota Bertuah Pekanbaru tentunya adalah fenomena yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Sebagai ibukota provinsi Riau, Kota Pekanbaru menjadi barometer diberbagai aspek kehidupan masyarakat. Kemajemukan dan heterogenitas masyarakat Kota Pekanbaru juga menjadi salah satu variable yang cukup dominant dalam perspektif politik. Belum lagi persoalan-persoalan yang kerap dihadapi oleh kota yang sedang tumbuh dan berkembang menjadi Kota Metropolis. “Setting pemilih antara masyarakat perkotaan dan pedesaan itu berbeda,” ujar Saiman Pakpahan, SIP,MSi. Berikut petikan lengkap wawancara Daulat Riau dengan pengamat politik dari Universitas Riau ini, Senin (14/3) pekan lalu di Pusat Penelitian Industri Perkotaan (PPIP) UR….

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Tahapan pendaftaran calon walikota dan wakil walikota Pekanbaru telah selesai. Bagaimana Anda melihat sejauh ini?
Saya kira di final akhirnya memunculkan 2 pasang calon yang diduga kuat dalam arena pemilukada Pekanbaru. Bahwa kemudian, sebelum finalisasi terhadap siapa yang akan bertarung terdapat banyak calon, ada calon independent, kemudian gugur setelah diverifikasi. Kemudian ada calon-calon lain seperti Prof Isjoni. Isjoni ternyata tidak terlalu mampu untuk menguasai logika politik. Karena sejauh ini kan beliau selalu berada di kampus. Dia tak paham bagaimana logika politik senantiasa bekerja kemudian membuat semacam shock. Jadi, ada semacam shock politik yang saya kira dialami oleh prof Isjoni.

Bagaimana Anda melihat pertarungan dua pasang calon tersebut yakni Septina Primawati Rusli (Golkar, PAN, PPP, PKB, Gerindra) dan Firdaus MT-Ayat Cahyadi (PKS,PDK, PBB, Hanura, Demokrat, PDIP dan 18 partai non parlemen)?
Di akhir, ternyata ada dua pasangan calon yang kemudian disahkan KPU. Nah, bagaimana peta kedua kandidat itu? Saya kira harus dilihat/diurai untuk sampai pada sebuah kesimpulan untuk menjawab bagaimana peta kekuatan kedua kandidat. Jadi barangkali kalau melihat secara makro, memang kelihatan ada persoalan. Paling tidak di tingkat Septina dan Erizal Muluk. Karena apa? Persoalan itu dalam logika politik yang praktis, itu sah-sah saja terjadi. Karena politik itu memang dibangun dari filosofi, “siapa mendapatkan apa dan bagaimana, terserah caranya seperti apa”. Meski kemudian pak Erizal Muluk yang seorang Ketua DPD Partai Golkar Kota Pekanbaru harus rela memberikan kursi calon walikota ke Septina Primawati yang sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kekuatan Septina sebenarnya justru berada pada lingkaran orang-orang yang berada di lingkarannya.
Septina sendiri tidak mengerti apa-apa. Dia hanya seorang ibu rumah tangga yang besar akibat dari limpahan kekuasaan yang ada pada suaminya. Nah, itulah politik. Jadi, seorang Erizal Muluk juga akhirnya bisa mentoleransi demi mendapatkan kekuasaan. Sekarang kan posisinya juga wakil walikota. Nah, beliau saat ini juga maju dengan posisi wakil walikota. Tidak ada sebuah prestasi yang luar biasa, meski kemudian dia adalah salah satu Ketua Partai Golkar. Lalu, dimensi kekuasaan memang resonansinya luar biasa. Mereka mau kemudian mengalah sedikit asalkan masih ada dalam gerbong kekuasaan itu.
Kemudian di pasangan lain, ini juga secara politik memang sedikit aneh. Karena seorang Firdaus MT, beliau bukanlah kader partai. Tetapi kemudian diposisikan sebagai calon walikotanya, yang dari partai itu justru menjadi wakilnya. Ya itu tadi, mengapa ini bisa terjadi? Mungkin partai-partai koalisi yang ada di kelompok Firdaus dan Ayat Cahyadi sudah mampu menghasilkan kesimpulan tunggal bahwa Firdaus MT memang layak jual. Sehingga kemudian tetap harus senantiasa didorong lalu kemudian mendudukkan salah satu kader partai yang menjadi wakil Firdaus MT. Jadi Firdaus MT bisa seperti seorang figure yang dizalimi oleh incumbent. Nah, citra seperti ini yang kemudian beroperasi kuat sehingga kemudian menebar simpati masyarakat. Ini yang menjadikan teman-teman di partai politik bersimpati bahwa seorang Firdaus MT ternyata dizalimi oleh incumbent atau penguasa, sehingga dia sepertinya layak untuk kita dekati, layak untuk kita dukung, layak untuk kita usung dan segala macam.

Apakah yang Anda maksud “dizalimi” karena pada awal-awal Firdaus MT digadang-gadang dan didukung oleh Gubernur Riau HM Rusli Zainal untuk menjadi walikota. Tetapi kemudian ditengah jalan malah ditinggalkan begitu saja?
            Jadi sebenarnya, dalam proses awal ketika ia didorong. Barangkali iya. Akibat harmonisasi hubungan individual. Tapi kan kemudian, lagi-lagi “ini politik Bung”. Jadi tidak bisa peta politik dua tahun lalu kemudian akan bisa sama dengan peta politik hari ini. Karena gampang berubah. Jadi, ketika petanya berubah, yang tiba-tiba menjadi orang yang sangat dekat, kemudian menjadi berseberangan. Ketika berseberangan, apapun akan dilakukan. Apa yang dipunyai seorang Rusli Zainal? Dia adalah orang nomor satu di provinsi Riau. Dia bisa melakukan apa saja. Nah, kesan-kesan seperti ini yang kemudian tercitrakan secara luas di Pekanbaru. Inilah yang kemudian mengapa ia layak “diposisikan” sebagai calon walikota ketimbang kaderisasi yang dari awal dibangun oleh PKS dimunculkan ke atas. Ternyata, dari hitung-hitungan politiknya, Firdaus itu memiliki nilai jual yang sedikit lebih baik dibandingkan Ayat Cahyadi yang notebene ketika bersaing pada pemilukada lima tahun lalu juga tidak memiliki cukup suara yang mampu bersaing dengan Herman Abdullah..

Diatas kertas dukungan partai politik ke Firdaus Ayat mencapai angka 54,7 persen, sebuah angka yang cukup besar. Menurut Anda, adakah korelasi dukungan parpol yang besar tersebut pada tataran masyarakat pemilih nantinya akan sejajar?
            Mobilisasi partai politik itu memang berpengaruh, tapi seberapa besar pengaruh itu akan sangat ditentukan oleh setting pemilih. Jadi setting pemilih antara masyarakat perkotaan dan pedesaan itu berbeda. Masyarakat pedesaan akan lebih gampang dimobilisasi dari pada masyarakat perkotaan. Partai mana yang bisa memobilisasi saya untuk memilih. Barangkali orang-orang seperti saya banyak di Pekanbaru. Jadi, kalaupun partai akan bekerja, mereka pun harus berhati-hati membangun propaganda yang popular. Ini akan berbeda ketika membangun propaganda di pedesaan. Di desa-desa itu gampang memobilisasinya. Kita panggil kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat misalnya, ya sudah apa kata kepala desa kemudian turuh ke bawah. Nah, di kota itu tidak bekerja. Masyarakat juga sudah berfikir. Tingkat golput juga bisa jadi muncul, lebih banyak dari pemilu lalu.
            Bahwa kemudian pada tataran parpol, Firdaus Ayat mendapat dukungan 54,7 persen, memang kira-kira mempunyai daya pengaruh yang cukup. Tapi, saya kira dia juga akan diganggu oleh setting politik dimana pemilihnya berada pada kultur perkotaan. Variabel lain disamping partai juga senantiasa harus dimanfaatkan oleh pasangan itu.

Fenomena yang cukup menarik perhatian adalah pengalihan dukungan pada detik-detik akhir pendaftaran. Partai Demokrat yang awalnya dikabarkan  merapat ke Septina, tetapi jusru akhirnya beralih ke Firdaus Ayat. Demikian juga halnya PDIP dan 18 partai non parlemen. Bagaimana pendapat Anda?
            Ini fenomena yang lazim. Jadi, tidak hanya di pemilukada Pekanbaru. Hampir terjadi di setiap pemilukada baik kabupaten/kota se- Indonesia. Karena apa? Tadi diawal sudah dijelaskan bahwa logika politik dibangun atas filosofi politik sangat pragmatis. Jadi, saya mestir satu pendapat Harrol C Maxwell, ia mengatakan “siapa mendapat apa dan bagaimana caranya”. Jadi hitung-hitungannya jelas. Jadi kalau saya kesana mendapat apa? Jadi saya sudah bicara tentang itu. Kenapa?Bagaimana caranya? Apa yang harus saya lakukan?. Seperti yang distir juga oleh Machiavelly, “kamu melakukan apa saja yang penting tujuan politik kamu terpenuhi”. Nah, ini yang membuat kacau balaunya logika politik yang dibangun dan diambil oleh Profesor-profesor di UI yang belajar ke Amerika Serikat. Jadi, apa yang dikatakan bahwa logika politik itu selalu saja tidak sesuai antara yang diperbincangkan di ranah teoritik dengan yang turun di wilayah praktis. Yak arena logika berfikirnya sudah seperti itu. Logika filosofisnya memang dibangun seperti itu. Sama seperti logika ekonomi yang mengatakan “dengan dana yang sekeci-kecilnya untuk mendapatkan yang sebesar-besarnya”. Jadi, kita disuruh untuk interpretasi sendiri. Ini kan kemudian diinterpretasi oleh orang-orang banyak yang kemudian akhirnya sangat individualistik. Politik juga seperti itu. Demi popularitasnya, dia akan melakukan apa saja..

Kalau kita lihat perkembangan Kota Pekanbaru yang sangat dinamis. Menurut Anda Figur seperti apa yang sebenarnya cocok untuk memimpin kota ini?
            Saya kira memang figure yang cocok adalah pemimpin yang cerdas, pemimpin yang pro perubahan, pemimpin yang mampu mendengarkan artikulasi-artikulasi atau keinginan stakeholder yang ada di Kota Pekanbaru. Dia harus paham, dia berada pada setting Negara seperti apa..

Harapan Anda?
Kita memang mengharapkan semua pemangku kepentingan di Pekanbaru, tidak tergiring pada pemilukada procedural. Maksudnya adalah bahwa pemilukada hanya dipandang sebagai sebuah proses-proses/tahapan-tahapan pemilu. Kita jangan hanya terjebak pada proses situ. Kita mesti melakukan education politic atau pendidikan politik pada masyarakat. Kita harus melakukan pemetaan pemilihnya seperti apa?pemilih rasionalnya berapa besarnya? Kalau pemilihnya certas, kualitas pemimpin yang akan dihasilkan juga pemimpin cerdas. Jadi masyarakat harus diberdayakan. Siapa saja yang mempunyai daya untuk melakukan pendidikan politik? Tentunya pemerintah, disamping ada juga lembaga seperti NGO-NGO dan terutama partai-partai politik. Kalau masyarakat tidak dibekali dengan education politik maka hal inilah yang mereduksi perjuangan reformasi 1998? Ketika elite-elite politik hanya melakukan politik transaksional dan bukan pemberdayaan politik masyarakat, maka hal ini juga akan menjadi preseden buruk demokrasi di Indonesia.***
           

Politik "Injury Time", Kisruh Di Kandang Banteng



Rabu (9/3) malam pekan lalu, gedung KPUD Kota Pekanbaru dipadati puluhan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik. Malam itu adalah batas waktu pendaftaran terakhir pendaftaran bakal calon walikota dan wakil walikota Pekanbaru. KPUD memberikan waktu hingga pukul 24.00 WIB. “KPUD memberikan waktu pendaftaran hingga pukul 24.00 WIB. Lewat satu menit pun, kami tidak akan menerima lagi,” ujar Yusri Munaf, sang ketua komisioner. Dari bisik-bisik dikalangan wartawan, malam ini PDIP dan 18 partai non parlemen akan memberikan dukungannya ke salah satu pasangan calon. Jauh-jauh hari PDIP memang telah menggalang dukungan partai-partai non parlemen yang berjumlah 18 partai. Kantor DPC Kota Pekanbaru yang berada tepat di jantung kota yakni di jalan Diponegoro, sejak beberapa bulan yang lalu pun dipenuhi bendera-bendera parpol selain bendera partai berlambang kepala banteng ini.

Informasi yang berkembang dikalangan wartawan, PDIP Cs malam ini akan memberikan dukungannya kepada Firdaus MT-Ayat Cahyadi. “Pak Firdaus MT pun sudah berada di KPU, sedang sholat isya,” ujar salah seorang rekan wartawan. Kedatangan Firdaus ke KPU kali ini bukanlah kali yang pertama setelah pendaftaran secara resmi yang diusung oleh koalisi 4 partai politik (PKS, Hanura, PBB, PKB). Sebelumnya, pada siang hari Firdaus MT dan pasangannya Ayat Cahyadi juga datang ke KPU dan menerima dukungan dari Partai Demokrat. Nah, kedatangannya malam ini merupakan sinyal positif akan mengalirnya kembali dukungan dari partai politik. Tercatat, hingga malam terakhir pendaftaran hanya ada dua partai politik yang mempunyai kursi di DPRD Kota Pekanbaru yang belum memastikan arah dukungannnya. Kedua parpol tersebut adalah PDIP yang memiliki 2 kursi dan Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan 4 kursi.

Waktu terus merayap. Tak terasa, batas waktu pendaftaran calon tinggal menyisakan sekitar satu jam. Belum ada tanda-tanda kedatangan beberapa partai politik. Para wartawan yang menunggu pun harap-harap cemas. Namun, hal ini tidak berlangsung terlalu lama. Yang ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga. Kordias, sang ketua partai berlambang kepala banteng ini muncul di kantor KPUD. Setelah sampai di lantai 2, ia tidak langsung menuju ke ruang pendaftaran. Namun, ia pergi ke toilet terlebih dahulu. Kordias, yang malam itu mengenakan kemeja berwarna biru dengan motif kotak-kotak, terlihat cukup santai. Sebagai salah seorang ketua partai politik besar yang mengusung jargon “partainya wong cilik”, kedatangan Kordias menyimpan sebuah tanda tanya besar. Ia tidak mengenakan simbol-simbol PDIP, seperti jas dan segala macamnya.

Keluar dari toilet, mantan calon legislative DPRD Kota Pekanbaru daerah pemilihan Tampan-Payung Sekaki ini pun langsung melangkahkan kakinya ke ruang pendaftaran. Kini, bersama perwakilan 18 partai non parlemen, ia menyerahkan berkas dukungan ke pasangan calon Firdaus MT-Ayat Cahyadi. Partai-partai mana saja yang tergabung dalam 18 partai non parlemen? Diantaranya adalah PKPI dengan perolehan suara pemilu sebesar (0,82%), PIS (0,30 %), PKNU (0,30%), Partai Republikan (0,72%), Partai Buruh (0,92%), PNBK Indonesia (0,29), Partai Barnas (0,34%), PNI Marhaenis (0,24%), PBR (1,86%), PPI (0,63%), Pakar Pangan (0,32%), PKP Indonesia (0,81%), PKDI (1,35%), PPRN (1,37%), PPIB (0,75%), Partai Pelopor (0,45%) dan PDP (0,55%).

Sikap PDIP Kota Pekanbaru yang mendukung pasangan Firdaus-Ayat ternyata berbeda dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPP PDIP. Sehari sebelumnya, Suryadi Khusaini, Ketua DPD PDIP Provinsi Riau mengatakan bahwa PDIP mendukung pasangan calon Peri Akri-Kusdani dalam pemilukada Pekanbaru. Mengenai persoalan alih mengalihkan dukungan partai, menurut pengamat politik dari Universitas Riau, Saiman Pakpahan adalah hal yang biasa. “Ini fenomena yang lazim. Tidak hanya di pemilukada Pekanbaru. Tetapi hampir terjadi di setiap pemilukada baik kabupaten/kota se- Indonesia,” ujar Saiman. Kenapa hal ini bisa terjadi? Menurut Saiman, karena logika politik dibangun atas filosofi politik yang sangat pragmatis. Dengan “menstir” pendapat Harrol C Maxwell, Saiman mengatakan bahwa politik pragmatis hanya melihat “siapa mendapat apa dan bagaimana caranya”. Jadi, tambah alumni Fisipol Universitas Riau “hitung-hitungannya jelas”. “Kalau saya kesana akan mendapat apa? Kenapa? Bagaimana caranya? Dan Apa saja yang harus saya lakukan? Jadi,saya sudah bicara tentang itu,” papar Saiman. Hal ini, menurut jebolen Universitas Kebangsaan Malaysia ini juga sudah sama dengan apa yang dikatakan oleh Machiavelly “kamu melakukan apa saja yang penting tujuan politik kamu terpenuhi”.

Suryadi Khusaini, sang Ketua PDIP Provinsi ketika dijumpai Daulat Riau di kediamannya jalan bambu kuning membenarkan pernyataannya sebagaimana dilansir berbagai media sehari sebelum pendaftaran calon. “Sikap DPP PDIP sampai saat ini belum berubah,” ujar Suryadi. Sampai saat ini, sesuai surat rekomendasi DPP PDIP, PDIP mendukung pasangan calon Peri Akri-Kusdani. Malam itu, Suryadi kelihatan cukup santai, meski keputusan DPC PDIP Kota Pekanbaru yang mengalihkan dukungan ke Firdaus MT-Ayat menyimpan bibit-bibit perpecahan ditubuh partai berlambang kepala banteng ini. Mengenakan kaos berwarna merah yang sepertinya merupakan kaos timnas sepakbola Indonesia dipadu dengan celana pendek bermotif tentara, sesekali Suryadi memencet remote control televisi yang sedang ditonton. Di ruangan yang terkesan seperti teras rumah, namun tetap berada dalam areal dalam rumah, Suryadi sedang ditemani oleh Robin Hutagalung, Ketua DPD PDIP Provinsi Riau yang membidangi masalah hokum serta seorang lagi fungsionaris PDIP.

Menurut Suryadi, keputusan tertinggi ada di DPP, DPC-DPC dan bahkan DPD masih dibawah DPP. “Tidak ada yang bisa merubah keputusan DPP, sebelum DPP sendiri yang merubahnya,” ujar mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau ini. Sikap DPC PDIP Kota Pekanbaru yang tidak mengindahkan rekomendasi DPP PDIP merupakan pelanggaran terhadap aturan partai. Ditanya tentang sanksi apa yang akan diberikan, salah seorang yang disebut-sebut sebagai “kader kesayangan” Megawati ini mengatakan, “sanksinya nanti saya kasih no telfon DPP di Jakarya ya”. Suryadi memang sosok politisi yang ulung, ditengah kondisi itu, ia masih bisa sedikit berseloroh. Karir pria yang juga menjadi Ketua DPP Ikatan Keluarga Jawa Riau (IKJR) Provinsi Riau di dunia politik memang terbilang bersinar. Tercatat, pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Riau sebanyak dua periode berturut-turut dan sempat menjadi calon wakil gubernur Riau mendampingi drh Chaidir.

Namun demikian, penerima gelar Kanjeng Pangeran dari keraton Surakarta ini, akhirnya buka suara. “Sanksinya ada dalam klausul rekomendasi itu yang menyatakan kepada mereka yang tidak mengindahkan instruksi dan melakukan aktivitas keluar dari kebijakan ini, akan diberikan sanksi organisasi,” ujarnya. “Sebentar…,” kata Suryadi kepada Daulat Riau dan kemudian bergegas masuk ke dalam rumah. Sambil menunggu sang ketua partai, Daulat Riau sejenak memperhatikan ruang tempat kami berbincang-bincang. Di dinding tepat diatas sofa Suryadi duduk, terpampang  foto Bung Karno, proklamator kemerdekaan RI sekaligus ayah Megawati, Ketua Umum DPP PDIP. Tak lama, Suryadi keluar dengan membawa subuah map berwarna merah. Ia lalu menyodorkan kepada Daulat Riau untuk membacanya.

Sepucuk surat itu tidak lain adalah surat rekomendasi DPP PDIP. Surat berkop DPP PDI Perjuangan dengan nomor surat 884/IN/DPP/3/2011, ditujukan kepada DPC PDI Perjuangan Kota Pekanbaru dengan perihal REKOMENDASI. Ada 5 butir inti keputusan yang tertulis dalam surat DPP tersebut yakni pertama: DPP PDIP menetapkan PERI AKRI, SE, MM untuk dijadikan calon Walikota Pekanbaru dan Drs. H. KUSDANI BADRI,M. Pdi untuk dijadikan calon Wakil Walikota Pekanbaru periode 2011-2016. Kedua, menginstruksikan DPC PDI Perjuangan Kota Pekanbaru untuk mendaftarkan PERI AKRI, SE, MM dan Drs. H. KUSDANI BADRI, MPdi sebagai pasangan calon walikota dan Wakil Walikota dari PDI Perjuangan ke Komisi Pemilihan Umum Kota Pekanbaru. Ketiga, DPP PDI Perjuangan menginstruksikan kepada seluruh jajaran Partai, DPC PDI Perjuangan Kota Pekanbaru, bersama-sama dengan seluruh kader, aktivis, dan anggota PDI Perjuangan di Kota Pekanbaru untuk mengamankan dan memperjuangkan terpilihnya PERI AKRI, SE, MM menjadi walikota Pekanbaru dan Drs. H. KUSDANI BADRI, MPdi menjadi wakil walikota Pekanbaru periode 2011-2016. Keempat, kepada mereka yang tidak mengindahkan istruksi dan melakukan aktivitas keluar dari kebijakan ini, akan diberikan sanksi organisasi. Kelima, apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam Surat Rekomendasi ini, akan diadakan perbaikan seperlunya. Pasal 4 klausul rekomendasi inilah yang dikatakan Suryadi mengenai sanksi yang akan diberikan kepada Kordias, Ketua DPC PDIP Kota Pekanbaru. Surat tersebut ditandatangani oleh Mindo Sianipar sebagai Ketua dan Tjahjo Kumolo sebagai Sekretaris Jenderal.

Banyak kalangan menilai, sikap DPC Kota Pekanbaru yang tidak mengindahkan Keputusan DPP PDIP terkait kisruh di internal DPD PDIP Provinsi Riau beberapa waktu yang lalu. Seperti diketahui public, beberapa waktu yang lalu, Hotman Manurung yang tidak lain adalah “ayah angkat” Kordias diberhentikan dari kedudukan sebagai sekretaris DPD PDIP Provinsi Riau. Hal inilah yang kemudian memicu, sikap Kordias untuk berani membangkang dari keputusan DPP.***

Berharap Tuah Angka 9...



“Ini adalah sejarah baru. Calon Walikota datang dua kali,” ujar Yusri Munaf ketika menerima kedatangan rombongan Partai Demokrat yang mengusung pasangan calon walikota dan wakil walikota Pekanbaru 2011-2016, Firdaus MT-Ayat Cahyadi…

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

SEBUAH mobil mercy bernomor polisi BM 1 XL menghentikan laju perputaran rodanya di halaman Masjid Ar Rahman. Dari dalam mobil, keluar sesosok lelaki dengan mengenakan jas berwarna biru berlogo seperti mobil yang dinaikinya “bintang mersi”. Tak ketinggalan, diatas kepala melekat peci berwarna hitam. Begitu turun dari mobil, ia langsung dikerumuni para kader dan pendukungnya yang telah beberapa saat menunggu. “Hidup Demokrat, Hidup Demokrat,” teriak beberapa kader. Sosok tersebut tidak lain adalah HR Mambang Mit, Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Riau. Sang ketua partai itu pun dikelilingi pengurus teras seperti Sekretaris DPD Koko Iskandar, Wakil Ketua drh Chaidir, Ruskin Har, Ketua DPC PD Kota Suratini Sulestyaningrum, Sekretaris DPC Firdaus Basir, Maizir Mit dan kader demokrat lainnya. Rombongan lalu menuju ke kantor KPUD Kota Pekanbaru yang terletak tepat dibelakang masjid. Pagi itu, Rabu (9/3) merupakan batas terakhir pendaftaran calon walikota dan wakil walikota Pekanbaru. Informasi yang beredar, Partai Demokrat akan memberikan dukungan kepada pasangan calon walikota dan wakil walikota Firdaus MT-Ayat Cahyadi, yang sebelumnya telah didaftarkan oleh koalisi empat partai politik yakni PKS, Hanura, PBB dan PDK.

Sebuah meja panjang dengan alas meja berwarna hijau telah rapi diruang KPUD. Beberapa kursi juga telah tersusun berhadap-hadapan. Dibelakangnya deretan kursi tanpa meja juga sudah stanby. Jumlahnya kurang lebih sekitar 30-an, cukup untuk mengantisipasi para pendukung pasangan calon. Ketua KPUD Kota Pekanbaru, Yusri Munaf telah mengambil posisi diikuti anggota KPUD lainnya yakni Makmur Hendrik, T.Rafrizal dan Neni. Didepan Ketua dan anggota KPUD, duduk berhadap-hadapan pasangan calon Firdaus MT-Ayat Cahyadi, didampingi Ketua DPD Demokrat Riau HR Mambang Mit, Sekretaris DPD Koko Iskandar, Ketua DPC Kota Pekanbaru, Suratini Sulestyaningrum serta Sekretaris DPC Firdaus Basir. Setelah dibuka dengan ucapan salam, Makmur Hendrik sebagai Ketua Pokja Pendaftaran kemudian mempersilakan kepada pengurus Partai Demokrat untuk menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya ke kantor KPUD. “Kami persilakan kepada Partai Demokrat untuk menjelaskan apa kiranya maksud dan tujuan kedatangan Partai Demokrat ke KPUD,” ujar Makmur yang juga salah seorang tokoh pers di Riau.

Tanpa menunggu waktu yang terlalu lama, Firdaus Basyir, Sekretaris DPC Demokrat Kota Pekanbaru mengambil mikrofon yang sudah tersedia diatas meja. Mantan pengacara kondang yang kini menjadi anggota DPRD Kota Pekanbaru ini pun langsung membacakan naskah dukungan DPC Partai Demokrat Kota Pekanbaru. Surat bernomor 002/TS/III/2011 yang dibacakan Firdaus menyatakan bahwa Partai Demokrat mendukung PKS, Hanura, PBB dan PDK yang telah mendaftar dengan surat bernomor 001/TS/III/2011 dengan pasangan calon walikota dan wakil walikota Firdaus MT-Ayat Cahyadi. Firdaus Basyir kemudian menyerahkan surat dukungan kepada Ketua Pokja Pendaftaran, Makmur Hendrik. “KPUD Kota Pekanbaru secara resmi menerima tambahan pencalonan dari Partai Demokrat atas nama pasangan calon Firdaus Ayat,” ujar Makmur yang langsung disambut amplus meriah dari kader partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.

Penyerahan dukungan Partai Demokrat kepada pasangan Firdaus-Ayat sekaligus mengakhiri kesimpangsiuran arah dukungan partai berlambang bintang mercy ini. Sebelumnya, Sekretaris DPD Partai Demokrat Riau sempat menyatakan bahwa Partai Demokrat telah mendukung pasangan Septina-Erizal Muluk. Gara-gara pernyataan tersebut, menurut salah seorang sumber di Demokrat, Ketua DPD Partai Demokrat Riau HP Mambang Mit marah-marah.

“Kenapa Partai Demokrat mendaftar pada tanggal 9?”ujar Firdaus yang kemudian langsung dijawabnya sendiri. Karena, Partai Demokrat didirikan pada tanggal 9 bulan 9 serta jumlah anggota DPRD Kota Pekanbaru juga ada 9. “Mudah-mudahan angka 9 memberikan keberuntungan,” ujar Firdaus Basyir yang juga ikut mendaftar pada panitia seleksi pennjaringan sebagai calon wakil walikota internal Demokrat ini. Kontan, hadirin yang ada diruangan KPUD tertawa terbahak-bahak atas penjelasan makna angka 9 ini. Ketua KPUD Kota Pekanbaru, Yusri Munaf secara singkat mengatakan bahwa pendaftaran kedua kali yang dilakukan oleh Partai Demokrat adalah sejarah baru. “Ini adalah sejarah baru. Calon Walikota datang dua kali,” ujar Yusri Munaf. Namun begitu, kata akademisi dari Universitas Islam Riau (UIR) ini selagi dalam rentang waktu pendaftaran, pendaftaran dukungan dimungkinkan.

Terkait dukungan Partai Demokrat kepada pasangan calon Firdaus-Ayat, Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Riau HR Mambang Mit mengatakan bahwa proses pengusungan ini atas kehendak kader Partai Demokrat Kota Pekanbaru, DPD PD Provinsi Riau dan DPP Partai Demokrat. Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dan bahkan Ketua Dewan Pembina Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pun mendukung. “Partai Demokrat dalam pengusungan ini benar-benar melihat aspirasi rakyat Kota Pekanbaru,” ujar Mambang Mit yang juga Wakil Gubernur Riau. Firdaus, menurut Mambang merupakan seorang birokrat yang tidak pernah cacat dalam tugasnya. Tehnokrat yang ahli dalam bidangnya. Sedangkan Ayat Cahyadi adalah seorang figur yang religius dan benar-benar mengerti kehidupan masyarakat. “Perpaduan ini bisa menampung aspirasi seluruh rakyat Pekanbaru,” ujar Mambang Mit.

Dijumpai di tempat yang sama, mantan Ketua DPRD Riau mengatakan sosok Firdaus MT sangat cocok untuk memimpin Kota Pekanbaru ke depan. “Walikota Pekanbaru ke depan mesti seorang yang mempunyai visi perencanaan kota,” ujar Chaidir. Dijelaskannya, apalagi dihadapkan pada tantangan-tantangan ke depan. Karena, di era sekarang ini, pengalaman-pengalaman yang sifatnya simbolistik tidak memadai lagi. Menurut penulis beberapa buah buku ini yang dimaksud dengan pengalaman simbolistik adalah pengalaman yang bersifat organisasi. “Kan banyak orang yang dibesarkan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan. Itu tidak memadai lagi. Melalui organisasi-organisasi tersebut, seseorang bisa saja dikenal dan popular dikalangan organisasi. Tetapi dia tidak punya visi yang kuat bagaimana gerbong kota ini mau dibawa,” jelas Chaidir. Nah, menurut Wakil Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Riau ini, Firdaus MT memenuhi kriteria itu.***