Jumat, 18 Maret 2011

Logika Politik Dibangun Sangat Pragmatis



Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

PEMILUKADA Kota Pekanbaru sudah diambang pintu. Perebutan kursi orang nomor satu di kota Bertuah Pekanbaru tentunya adalah fenomena yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Sebagai ibukota provinsi Riau, Kota Pekanbaru menjadi barometer diberbagai aspek kehidupan masyarakat. Kemajemukan dan heterogenitas masyarakat Kota Pekanbaru juga menjadi salah satu variable yang cukup dominant dalam perspektif politik. Belum lagi persoalan-persoalan yang kerap dihadapi oleh kota yang sedang tumbuh dan berkembang menjadi Kota Metropolis. “Setting pemilih antara masyarakat perkotaan dan pedesaan itu berbeda,” ujar Saiman Pakpahan, SIP,MSi. Berikut petikan lengkap wawancara Daulat Riau dengan pengamat politik dari Universitas Riau ini, Senin (14/3) pekan lalu di Pusat Penelitian Industri Perkotaan (PPIP) UR….

Laporan: Subur Ratno, Pekanbaru

Tahapan pendaftaran calon walikota dan wakil walikota Pekanbaru telah selesai. Bagaimana Anda melihat sejauh ini?
Saya kira di final akhirnya memunculkan 2 pasang calon yang diduga kuat dalam arena pemilukada Pekanbaru. Bahwa kemudian, sebelum finalisasi terhadap siapa yang akan bertarung terdapat banyak calon, ada calon independent, kemudian gugur setelah diverifikasi. Kemudian ada calon-calon lain seperti Prof Isjoni. Isjoni ternyata tidak terlalu mampu untuk menguasai logika politik. Karena sejauh ini kan beliau selalu berada di kampus. Dia tak paham bagaimana logika politik senantiasa bekerja kemudian membuat semacam shock. Jadi, ada semacam shock politik yang saya kira dialami oleh prof Isjoni.

Bagaimana Anda melihat pertarungan dua pasang calon tersebut yakni Septina Primawati Rusli (Golkar, PAN, PPP, PKB, Gerindra) dan Firdaus MT-Ayat Cahyadi (PKS,PDK, PBB, Hanura, Demokrat, PDIP dan 18 partai non parlemen)?
Di akhir, ternyata ada dua pasangan calon yang kemudian disahkan KPU. Nah, bagaimana peta kedua kandidat itu? Saya kira harus dilihat/diurai untuk sampai pada sebuah kesimpulan untuk menjawab bagaimana peta kekuatan kedua kandidat. Jadi barangkali kalau melihat secara makro, memang kelihatan ada persoalan. Paling tidak di tingkat Septina dan Erizal Muluk. Karena apa? Persoalan itu dalam logika politik yang praktis, itu sah-sah saja terjadi. Karena politik itu memang dibangun dari filosofi, “siapa mendapatkan apa dan bagaimana, terserah caranya seperti apa”. Meski kemudian pak Erizal Muluk yang seorang Ketua DPD Partai Golkar Kota Pekanbaru harus rela memberikan kursi calon walikota ke Septina Primawati yang sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kekuatan Septina sebenarnya justru berada pada lingkaran orang-orang yang berada di lingkarannya.
Septina sendiri tidak mengerti apa-apa. Dia hanya seorang ibu rumah tangga yang besar akibat dari limpahan kekuasaan yang ada pada suaminya. Nah, itulah politik. Jadi, seorang Erizal Muluk juga akhirnya bisa mentoleransi demi mendapatkan kekuasaan. Sekarang kan posisinya juga wakil walikota. Nah, beliau saat ini juga maju dengan posisi wakil walikota. Tidak ada sebuah prestasi yang luar biasa, meski kemudian dia adalah salah satu Ketua Partai Golkar. Lalu, dimensi kekuasaan memang resonansinya luar biasa. Mereka mau kemudian mengalah sedikit asalkan masih ada dalam gerbong kekuasaan itu.
Kemudian di pasangan lain, ini juga secara politik memang sedikit aneh. Karena seorang Firdaus MT, beliau bukanlah kader partai. Tetapi kemudian diposisikan sebagai calon walikotanya, yang dari partai itu justru menjadi wakilnya. Ya itu tadi, mengapa ini bisa terjadi? Mungkin partai-partai koalisi yang ada di kelompok Firdaus dan Ayat Cahyadi sudah mampu menghasilkan kesimpulan tunggal bahwa Firdaus MT memang layak jual. Sehingga kemudian tetap harus senantiasa didorong lalu kemudian mendudukkan salah satu kader partai yang menjadi wakil Firdaus MT. Jadi Firdaus MT bisa seperti seorang figure yang dizalimi oleh incumbent. Nah, citra seperti ini yang kemudian beroperasi kuat sehingga kemudian menebar simpati masyarakat. Ini yang menjadikan teman-teman di partai politik bersimpati bahwa seorang Firdaus MT ternyata dizalimi oleh incumbent atau penguasa, sehingga dia sepertinya layak untuk kita dekati, layak untuk kita dukung, layak untuk kita usung dan segala macam.

Apakah yang Anda maksud “dizalimi” karena pada awal-awal Firdaus MT digadang-gadang dan didukung oleh Gubernur Riau HM Rusli Zainal untuk menjadi walikota. Tetapi kemudian ditengah jalan malah ditinggalkan begitu saja?
            Jadi sebenarnya, dalam proses awal ketika ia didorong. Barangkali iya. Akibat harmonisasi hubungan individual. Tapi kan kemudian, lagi-lagi “ini politik Bung”. Jadi tidak bisa peta politik dua tahun lalu kemudian akan bisa sama dengan peta politik hari ini. Karena gampang berubah. Jadi, ketika petanya berubah, yang tiba-tiba menjadi orang yang sangat dekat, kemudian menjadi berseberangan. Ketika berseberangan, apapun akan dilakukan. Apa yang dipunyai seorang Rusli Zainal? Dia adalah orang nomor satu di provinsi Riau. Dia bisa melakukan apa saja. Nah, kesan-kesan seperti ini yang kemudian tercitrakan secara luas di Pekanbaru. Inilah yang kemudian mengapa ia layak “diposisikan” sebagai calon walikota ketimbang kaderisasi yang dari awal dibangun oleh PKS dimunculkan ke atas. Ternyata, dari hitung-hitungan politiknya, Firdaus itu memiliki nilai jual yang sedikit lebih baik dibandingkan Ayat Cahyadi yang notebene ketika bersaing pada pemilukada lima tahun lalu juga tidak memiliki cukup suara yang mampu bersaing dengan Herman Abdullah..

Diatas kertas dukungan partai politik ke Firdaus Ayat mencapai angka 54,7 persen, sebuah angka yang cukup besar. Menurut Anda, adakah korelasi dukungan parpol yang besar tersebut pada tataran masyarakat pemilih nantinya akan sejajar?
            Mobilisasi partai politik itu memang berpengaruh, tapi seberapa besar pengaruh itu akan sangat ditentukan oleh setting pemilih. Jadi setting pemilih antara masyarakat perkotaan dan pedesaan itu berbeda. Masyarakat pedesaan akan lebih gampang dimobilisasi dari pada masyarakat perkotaan. Partai mana yang bisa memobilisasi saya untuk memilih. Barangkali orang-orang seperti saya banyak di Pekanbaru. Jadi, kalaupun partai akan bekerja, mereka pun harus berhati-hati membangun propaganda yang popular. Ini akan berbeda ketika membangun propaganda di pedesaan. Di desa-desa itu gampang memobilisasinya. Kita panggil kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat misalnya, ya sudah apa kata kepala desa kemudian turuh ke bawah. Nah, di kota itu tidak bekerja. Masyarakat juga sudah berfikir. Tingkat golput juga bisa jadi muncul, lebih banyak dari pemilu lalu.
            Bahwa kemudian pada tataran parpol, Firdaus Ayat mendapat dukungan 54,7 persen, memang kira-kira mempunyai daya pengaruh yang cukup. Tapi, saya kira dia juga akan diganggu oleh setting politik dimana pemilihnya berada pada kultur perkotaan. Variabel lain disamping partai juga senantiasa harus dimanfaatkan oleh pasangan itu.

Fenomena yang cukup menarik perhatian adalah pengalihan dukungan pada detik-detik akhir pendaftaran. Partai Demokrat yang awalnya dikabarkan  merapat ke Septina, tetapi jusru akhirnya beralih ke Firdaus Ayat. Demikian juga halnya PDIP dan 18 partai non parlemen. Bagaimana pendapat Anda?
            Ini fenomena yang lazim. Jadi, tidak hanya di pemilukada Pekanbaru. Hampir terjadi di setiap pemilukada baik kabupaten/kota se- Indonesia. Karena apa? Tadi diawal sudah dijelaskan bahwa logika politik dibangun atas filosofi politik sangat pragmatis. Jadi, saya mestir satu pendapat Harrol C Maxwell, ia mengatakan “siapa mendapat apa dan bagaimana caranya”. Jadi hitung-hitungannya jelas. Jadi kalau saya kesana mendapat apa? Jadi saya sudah bicara tentang itu. Kenapa?Bagaimana caranya? Apa yang harus saya lakukan?. Seperti yang distir juga oleh Machiavelly, “kamu melakukan apa saja yang penting tujuan politik kamu terpenuhi”. Nah, ini yang membuat kacau balaunya logika politik yang dibangun dan diambil oleh Profesor-profesor di UI yang belajar ke Amerika Serikat. Jadi, apa yang dikatakan bahwa logika politik itu selalu saja tidak sesuai antara yang diperbincangkan di ranah teoritik dengan yang turun di wilayah praktis. Yak arena logika berfikirnya sudah seperti itu. Logika filosofisnya memang dibangun seperti itu. Sama seperti logika ekonomi yang mengatakan “dengan dana yang sekeci-kecilnya untuk mendapatkan yang sebesar-besarnya”. Jadi, kita disuruh untuk interpretasi sendiri. Ini kan kemudian diinterpretasi oleh orang-orang banyak yang kemudian akhirnya sangat individualistik. Politik juga seperti itu. Demi popularitasnya, dia akan melakukan apa saja..

Kalau kita lihat perkembangan Kota Pekanbaru yang sangat dinamis. Menurut Anda Figur seperti apa yang sebenarnya cocok untuk memimpin kota ini?
            Saya kira memang figure yang cocok adalah pemimpin yang cerdas, pemimpin yang pro perubahan, pemimpin yang mampu mendengarkan artikulasi-artikulasi atau keinginan stakeholder yang ada di Kota Pekanbaru. Dia harus paham, dia berada pada setting Negara seperti apa..

Harapan Anda?
Kita memang mengharapkan semua pemangku kepentingan di Pekanbaru, tidak tergiring pada pemilukada procedural. Maksudnya adalah bahwa pemilukada hanya dipandang sebagai sebuah proses-proses/tahapan-tahapan pemilu. Kita jangan hanya terjebak pada proses situ. Kita mesti melakukan education politic atau pendidikan politik pada masyarakat. Kita harus melakukan pemetaan pemilihnya seperti apa?pemilih rasionalnya berapa besarnya? Kalau pemilihnya certas, kualitas pemimpin yang akan dihasilkan juga pemimpin cerdas. Jadi masyarakat harus diberdayakan. Siapa saja yang mempunyai daya untuk melakukan pendidikan politik? Tentunya pemerintah, disamping ada juga lembaga seperti NGO-NGO dan terutama partai-partai politik. Kalau masyarakat tidak dibekali dengan education politik maka hal inilah yang mereduksi perjuangan reformasi 1998? Ketika elite-elite politik hanya melakukan politik transaksional dan bukan pemberdayaan politik masyarakat, maka hal ini juga akan menjadi preseden buruk demokrasi di Indonesia.***
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar